logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Kata Suamiku Tidak Usah KB

Kata Suamiku Tidak Usah KB

Tri Widiyani


Bab 1 Nestapa Di Ujung Maut

Air ketuban mengalir diikuti rasa mulas mendera tak tertahan lagi. Punggung belakangku serasa hendak patah menahan sakitnya nyeri punggung yang kian bertambah-tambah.
Bagaimana ini! kuletakkan gendongan kayu bakar dari punggung, menaruhnya susah payah ke tanah.
"Mak, kenapa Mamak berhenti?" Ridho putra keempatku ikut menunda langkah, ia pun menatapku heran.
"Dho, lari ke rumah Budhe Risah! Ajak ke sini, katakan mamak mau punya adek bayi. Cepat, ya!"
Ridho mengangguk cepat, usia anak itu baru empat tahun namun ia cukup cerdas dan mudah paham.
Ridho sudah terbiasa kuajak mencari kayu bakar di ladang-ladang dekat kebun sawit. Nampak olehku kaki kecilnya berlari cepat seperti pintaku tadi.
Bawah perutku mengeras serasa kram, punggungku pun dicengkeram rasa sakit yang luar biasa. Kukibaskan kain gendongan bekas memikul kayu bakar di punggung tadi. Cepat kurentangkan kain kusam itu di tanah. Tak sanggup sudah kutahan dorongan ingin mengejan. Air ketuban yang merembes pun sudah sisa-sisanya saja.
Bayiku harus cepat keluar, ia bisa kehabisan napas jika terlalu lama di dalam saat air ketubanku hampir tak bersisa lagi. Ini proses persalinan keenam yang kualami, hampir hapal di luar ingatanku serupa apa cara mengeluarkan bayi dari jalan lahirku.
Kutarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan diri seraya berserah pada Allah yang maha kuasa. Lirih kulafadzkan basmallah dan takbir bergantian. Posisiku telah berbaring di atas kain dengan kaki ditekuk, menunggu rasa ingin mengejan yang tadi hilang datang timbul kembali.
Perkiraanku, jika Ridho bisa menemukan Budhe Risah dengan cepat, tak sampai setengah jam lagi mereka akan tiba di sini. Mungkin akan kudengar omelan dari wanita setengah baya yang biasa kupanggil Budhe itu, ia pasti akan kesal melihatku tetap mencari kayu bakar meski tengah hamil tua.
Pagi tadi belum kurasa apa pun, aku masih membereskan rumah seperti biasa. Siang hari juga sebentar saja kurasa rasa nyeri di punggung dan gerakan mengencang di perutku. Masih kuabaikan, biasanya rasa itu hilang timbul seperti kehamilanku yang sudah-sudah.
Menjelang sore, kulihat kayu bakar habis, tak akan bisa kutanak nasi jika tak ada pengisi tungku untuk memasak.
"Bang, kayu bakarnya habis, nasi untuk makan malam belum lagi kutanak," keluhku pada Bang Muis. Suamiku itu menengok sebentar lalu mendekatiku.
"Kamu saja yang cari, Nur. Seikat kecil saja biar gak kepayahan. Besok pagi baru kucarikan yang banyak. Ini hampir waktu ashar, aku harus mengajar mengaji."
"Tapi, Bang! Perutku sudah tak enak kurasa. Gimana nanti kalau melahirkan di ladang." Aku mengungkapkan kekhawatiranku.
"Nurma, Nurma! Kayak baru sekali ini saja kamu hamil, biasanya juga kamu masih bisa kerja apa saja meski hamil tua. Sudah lekas berangkat, keburu senja nanti."
Bang Muis tak lagi menungguku beranjak dari balai kayu tempatku menidurkan Aisyah. Ia berlalu begitu saja mengambil kopiah lalu lekas menuju mushola di dekat rumah kami.
"Afifah, sini bentar, Nak! Bantu Mamak jagain Aisyah." Kupanggil putri keduaku yang tengah bermain dengan Ridho.
"Mamak mau ke mana? Lama gak, aku mau ke mushola juga ikut mengaji sama bapak," sahut putriku.
"Ke Mushola lepas ashar saja, ya, jamaah magrib sekalian. Mamak harus cari kayu bakar, Nak."
"Iya kah, Mak? Ya sudah, biar Afifah jagain adek."
"Ridho ikut Mamak, yuk. Temani biar gak sepi." Kuajak anak keempatku untuk pergi bersama ke ladang.
Ridho melompat senang, ia memang senang kuajak ke ladang, anak itu suka mengumpulkan ranting-ranting kayu sambil bernyanyi jenaka.
Tak jauh jarak ladang dari rumahku, tempat tinggal kami memang terletak di ujung kampung berbatasan dengan perkebunan perusahaan sawit dan ladang warga.
Di tengah mencari ranting kayu, sempat kurasa gerakan cepat dari dalam perutku, sepertinya calon anakku sedang mencari jalannya untuk menampakkan diri di dunia.
"Dho, cepat bantu Mamak ikat kayunya."
Ridho mengangguk, diambilnya tali rafia dari kantung celananya lalu memberikan padaku. Susah payah aku berjongkok untuk bisa mengikatkan tali pada kumpulan kayu.
Ridho membantuku dengan cekatan, tangan mungilnya memegang tali yang sudah kutautkan agar tak terlepas lagi sebelum kusimpul.
"Sudah, Mak. Ridho kuat angkat ini! aku aja yang bawa sini."
Satu-satunya anak lelakiku itu berusaha menjinjing ikatan kayu dengan memiringkan tubuhnya ke samping. Ia terlihat lucu sekali dengan raut meringis menahan beban kayu bakar.
"Pintarnya anak mamak, ayo kita gotong sama-sama saja." Tak ingin menyurutkan semangat anak lelakiku yang ingin membantu ibunya, aku sedikit membungkuk menjinjing kayu bakar bersama Ridho.
Seketika rasa kencang di perut semakin bertambah. Sepertinya bayi dalam rahimku tak mau kubawa membungkuk.
"Eh, sudah mau malam, kayunya biar Mamak saja yang bawa. Kita harus cepat sampai rumah, Nak," lirihku pada Ridho agar ia tetap senang.
"Bantu Mamak naikkan kayunya ke punggung, ya."
Aku membungkuk pelan sembari melingkarkan tangan kiriku ke belakang, tangan kananku mengangkat kayu bakar ke punggung dari samping dengan dibantu Ridho.
Kami pun kembali berjalan menuju rumah dengan kayu bakar sudah terikat kencang di punggung dengan kain gendongan.
Setengah perjalanan, langkahku semakin berat seiring kaki yang susah kugerakkan karena rasa kencang di perut dan nyeri punggung yang semakin menjadi.
Air ketubanku sepertinya sudah lah habis, kuremas tepian kain, seorang diri berusaha mengeluarkan bayiku dalam kepasrahan takdir.
Dari jauh kulihat Ridho kecilku duduk di bagian depan sepeda motor Bu Bidan seraya berteriak nyaring.
"Itu Mamak. Itu Mamakku!"
Rupanya Ridho bisa menemukan Budhe Risah, ia datang bersama bidan kampung. Mereka bertiga berdesakan berboncengan dalam satu sepeda motor.
Suara tangis bayi memecah sunyinya sore, anakku terlahir di lapisan kain di atas tanah sebelum Bu Bidan memarkir sepeda motornya.
"Ya Allah, Nurma! Keterlaluan suamimu! Owalaah kamu juga jadi istri manutan banget sih!" Suara berat Budhe Risah mendekat padaku bersamaan dengan ucapan tahmid yang terlirih dari lisanku.

Komentar Buku (19)

  • avatar
    Dedi Yanto

    terima kasih

    05/06

      1
  • avatar
    0392Mahesa

    bagus

    09/05

      1
  • avatar
    Heyyud Heyyud

    sangat lah keren

    14/04

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru