logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4: Mual

Sialan kamu, Handoko Wijaya!
Namanya terus mengganggu pikiran. Gara-gara dia, setiap kali duduk di depan toilet, selalu mual. Kuraih segayung air untuk berkumur, dengan obat yang telah disiapkan tentunya. Ya Tuhan ....
Dengan lemah aku bersandar pada dinding kamar mandi. Meski hanya mengalami Morning Sickness selama beberapa hari, tetapi rasanya seperti akan mati. Bagaimana aku bisa menghadapi hari selanjutnya?
Astaga ... mengapa hanya wanita yang menderita saat kehamilan? Seandainya pria juga merasakan hal yang sama ... sayangnya, mereka hanya merasakan nikmatnya ejakulasi.
"Amel, masih yakin lo bisa?"
"Ya," kataku parau, tersenyum lemah pada Mina. Ternyata dia mengintip melalui pintu kamar mandi yang terbuka. Keningnya berkerut dan kekhawatiran terlihat jelas saat memperhatikanku. "Itu karena lo emang belum terbiasa."
"Ya, gue tau."
Aku bangun. "Gausah khawatir, Min. Gue baik-baik aja. Ini kelulusan kita, gue sudah bertahan selama ini. Jadi gak mungkin gak hadir hanya karena mual di pagi hari seperti ini."
Aku keluar dari kamar mandi, lalu langsung menuju lemari. Mengeluarkan gaun halter biru royal hingga selutut, dengan renda di bawahnya, meletakkannya di tempat tidur.
"Oke ... Kalo gitu lo mandi sekarang, nanti gue yang atur rambut lo," kata Mina. Dia sudah duduk di depan meja dan sedang merias wajahnya.
"Ya, Bu."
Mina hanya menatap. Terkikik, kujulurkan lidah padanya sebelum kembali memasuki kamar mandi. Butuh waktu setengah jam untuk menyelesaikan ritual mandi. Aku mengenakan jubah, lalu mengeringkan rambut dan membungkusnya dengan handuk-gaya serban. Saat aku keluar, Mina sudah berpakaian dan berbenah.
Dia mengenakan gaun Staples merah yang juga selutut-dipasangkan dengan sepatu Pump hitam. Dia meluruskan rambut pirang stroberinya, memasang pin dengan Rhinetones di samping. Yah ... Mina benar-benar cantik.
"Duduk," tuntutnya. Aku memutar mata dan menurut. Dia melepas ikal handuk di rambut lalu mengeringkannya. Kemudian menata kunci cokelat, hingga ke tengah panjang punggung menjadi gelombang. Dia juga merias wajahku. Setelah selesai didandani, aku mengenakan gaun biru dan sepatu hitam, lalu menutupinya dengan gaun.
"Siap?" Mina bertanya seraya mengenakan gaun yang sama.
"Oke."
"Sisa makanan lo tadi di mana?"
"Di sana." Aku menunjuk ke sebuah koper mini di atas tempat tidur, yang penuh dengan barang-barang-karena tidak dibawa ke kos saat diperbaiki dan kami pindah ke sana minggu lalu. Kami memutuskan untuk tinggal di sini di asrama, sampai kelulusan-yaitu hari ini. Malam ini, kita akan tidur di sana-di kos.
Sesuai rencana, kami menemukan kost yang sesuai dengan selera. Sebenarnya, pacarnya-Lazam, sedang mencarinya dan karena Mina mengatakan kepadanya bahwa kami tidak jadi berpisah, dia menyewa kost di sebelah. Dia tidak tahu tentang kehamilanku, tentu saja. Lazam dan aku berteman tapi aku tidak bisa memberitahunya, karena Handoko adalah teman dekatnya. Mina dan aku hanya akan memberitahunya, jika perutku membesar dan Lazam bertanya.
"Koper lo di mana, Woy?" Aku bertanya.
"Gue udah di mobil."
"Oke." Aku hendak mengangkat koper, tetapi Mina menghentikanku.
"Biarin gue aja yang angkat. Lo lagi hamil jadi gak boleh angkat berat."
Aku memutar mata. Sejak kami mengkonfirmasi kehamilan, perlakuan Mina terhadapku mulai berubah. Diia berperan seperti induk ayam dan memperlakukanku seperti telur, supaya tidak pecah. Aku hampir tidak bisa bergerak leluasa, karena sikap protektifnya begitu berlebihan. Sekadar beres-beres saja, tidak boleh. Dia terlalu khawatir akan kehamilanku. Yah ... aku bersyukur, setidaknya dia tidak terlalu melarangku mengendarai mobil. Meskipun terkadang, dia bersikeras bahwa aku tetap harus bersamanya. Benar-benar sebuah drama Indusiar.
Aku menghela, lalu meraih gagang koper, menatap Mina yang juga memegang gagangnya. "Udahlah, biarin gue bawa sendiri. Lagian belum hamil besar, Mina!"
"Gak, Amel. Lo tuh hamil! Jadi serahkan aja sama gue!"
"Gak, pokoknya kagak. Gue bisa bawa sendiri."
"Iya, tapi nanti bayi lo bisa stress, Amel!"
Aku mengencangkan cengkeramanku pada pegangan dan menariknya ke arahku. "Debay gak kenapa-napa. Dia kuat."
Dia menarik koper ke arahnya. "Gue tau. Tapi gausah percaya diri sekali. Dia belum bisa ngomong kalo terjadi apa-apa!"
Aku mengeluarkan koper lagi, bahkan menatapnya. "Emang dia belum bisa ngomong, tapi gue yakin dia baik-baik aja. Gue tuh ibunya!"
"Dia itu Debay gue!"
"Tapi gue ibunya!"
"Yaudah lo Angkat." Mina mendengus dan melepaskan pegangan. "Dan bayinya perempuan."
"Terserah!" kataku.
"Heh." Dia melototiku begitu aku berjalan keluar.
Aku hanya tertawa dan menarik koper untuk mengikutinya turun. Akhirnya dia pasrah juga. Kami selalu bercanda tentang jenis kelamin bayi. Dia ingin bayinya berjenis perempuan. Sedangkan aku, hanya mengatakan padanya agar menjadi orang yang menjemputnya. Aku selalu menertawakan ekspresi masamnya, setiap aku bersikeras bahwa bayinya adalah lelaki. Namun tidak masalah bagiku apa jenis kelaminnya, yang penting bayinya sehat.
Upacara wisuda berlangsung selama tiga jam. Setelah itu, orang tua Mina mendatangi kami dan memberi selamat. Mereka mengundang kami untuk makan siang. Aku tidak ingin pergi karena ini adalah perayaan keluarga, tetapi mereka bersikeras terutama Ibu Mina. Dia tahu bahwa aku tidak punya keluarga.
"Bu, Amel sama saya nanti datang. Sekarang mau nunggu si Lazam dulu," ucap Mina.
"Baiklah, sampai jumpa nanti."
Kami hanya mengangguk, kemudian berinteraksi dengan teman sekelas. Sedangkan teman-teman kami yang lain sedang sibuk berfoto.
"Hai, Sayang, selamat," Lazam tersenyum seraya mendekat. Dia memeluk Mina sebelum mencium bibirnya.
"So sweet, Sayang," kata Mina saat mereka berpisah dalam pelukan.
Lazam menyeringai ketika dia berbalik ke arahku, lalu menarikku ke dalam pelukan. "Eh ... si Imut, selamat."
"Ya, terima kasih. Lo juga, Bocah Elzam," jawabku seraya menepuk punggungnya. Karena aku memakai sepatu hak, daguku bersandar di bahu Lazam sehingga ketika mendongak, tatapanku langsung terkunci dengan mata birunya yang dalam. Detak jantungku semakin cepat. Entah mengapa tiba-tiba gugup. Handoko berdiri di belakang Lazam, menatapku. Jenis tatapan yang membuatku bertanya-tanya, apa yang ada di benaknya, karena wajahnya begitu pasif dan bahkan tidak terlihat emosi. Saat kuperhatikan, sepertinya dia sedang membaca jiwaku.
Aku tersedak, Ya Tuhan. Apakah dia ingat apa yang terjadi malam itu? Semoga saja tidak, agar dia tidak membayangkan kemungkinan, bahwa aku sedang hamil. Ya Tuhan Ya Tuhan ....
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Apa yang kupikirkan? Tentu saja, yakin bahwa dia tidak akan mengingat lagi, bahwa akulah salah satu wanita tak berwajah yang dia tiduri. Ya, sepertinya tidak perlu khawatir.
Kualihkan pandangan dari Handoko, lalu melepaskan pelukan Lazam. Aku terkikik saat melihat wajahnya yang tak terlukiskan. Bahkan Mina tertawa.
"Sialan lo, Amelia," geram Lazam. "Sudah gue bilang, jangan panggil gue bocah. Kedengarannya lucu tau gak!"
Aku menjulurkan lidah padanya. "Kalau begitu lo juga harus berhenti panggil gue si Imut!"
"Loh ... emang kenapa? Itu cocok kok, lo kan emang masih imut!"
"Lo juga, Elzam!" Mina dan aku tertawa, apalagi saat Lazam mengerang frustasi dan mencubit hidungku. Meskipun tiba-tiba tegang ketika mendengar suara bass yang dalam.

Komentar Buku (100)

  • avatar
    Rizal AkbarMuhammad

    bagus novelnya

    7d

      0
  • avatar
    Alzh Rni

    mantapp lahh cerita nya

    10d

      0
  • avatar
    Pri Agustin Wojayanti

    iya

    24/07/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru