logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

3: Namanya Alex

“Namaku Alex.”
Didalam mobil yang terparkir tak jauh digang sempit yang sama, akhirnya lelaki yang kini berpredikat calon suamiku menyebutkan namanya. Aku menoleh, membentuk ‘o’ dengan mulutku yang membundar. “Aku Alisa.”
“Nama yang indah.” Alex berkomentar, dengan cengiran.
Aku mendengus geli, senyumku melebar.
“Aku akan menikahimu segera.” Alex menegaskan sambil menyalakan mobil, melirikku yang nampak bergeming. “Karna aku tidak sabaran, melihat calon istriku memakai gaun pengantin yang cantik.”
Aku hanya manggut-manggut dengan kepala yang mengangguk samar, gerakan kepalaku terhenti saat Alex menyambar pertanyaan, “Kamu nggak keberatan?”
“Nggak, kok.” Aku menggelengkan kepala cepat. “Bukannya lebih cepat lebihbaik?”
Alex menggelengkan kepala. “Maksudku, memiliki suami yang tidak sabaran?”
Aku tertawa, “Untungnya calon istrinya penyabar. Serasi, bukan?”
Alex ikut tertawa, “Aku sangat bersyukur. Allah menjatuhkan kamu dari langit untukku.”
Aku mendelik geli, memukul ringan lengannya. “Emangnya aku apa? Turun dari langit? Ih!”
“Kamu ‘kan bidadari.” Alex menggodaku habis-habisan, lalu menambahkan rayuannya hingga klimaks, “Yang bahkan lebih cantik dari belasan bidadari ‘asli’ sekaligus.”
“Berarti aku bidadari kawe? Gitu!?”
“Meskipun kawe, yang penting aku cinta.” Alex mencolek pundakku, menatapku teduh. “Cintaaa banget.” Tambahnya panjang kali lebar.
Aku geleng-geleng, tak menyangka lelaki yang awalnya kukira berwatak keras dan dingin, ternyata setengil ini. Tidak segan melontarkan rayuan manis dan menjahiliku dengan cara romantis, meskipun aku memang calon istrinya. Mungkin Alex memang orang yang tertutup seperti yang aku kira pada pandangan pertama, tapi sebenarnya terbuka pada orang yang dia percaya.
“Kamu mau resepsinya kayak gimana?” Alex mulai meminta pendapatku, dengan lambat melajukan mobil.
“Gimana, ya? Terserah kamu aja.” Aku bingung, melemparkan balik kearahnya.
“Kok aku, sih? Seharusnya yang paling mengerti demikian, ‘kan calon istrinya?” Alex melempar tatapan menggoda lalu kembali memfokuskan tatapan kejalan raya.
“Aku bingung.” Aku menghela nafas, terang-terangan kewalahan agar Alex memahami.
“Oke,” Alex sepertinya menyadari kodeku, “Kalau gitu kita serahkan seutuhnya kepada wedding organizer-nya saja. Kalau nggak memuaskan, kita tinggal menuntut ganti rugi.” Cengirnya.
Aku mengangguk-angguk dengan menahan senyum.
“Bulan madunya dimana?” Alex mengubah pertanyaan, masih dengan kedua manik yang fokus dihadapan.
Aku tertegun, wajahku tegang. “Dimana saja.” Jawabku asal.
Alex terdengar mendesah. Dari senyum tengilnya, sepertinya dia akan mengerjaiku lagi. “Aku, sih maunya bulan madunya dirumah aja. Dikamar tepatnya. Kamu tahu ‘kan? Apa saja hal indah yang bisa kita lakukan?”
Wajahku bersemu merah, melayangkan pukulan keras dilengannya dengan bibir mengerucut. Alex tertawa lalu meminta maaf dengan nada penyesalan buatan. “Maaf, maaf. Aku serius, nggak bakal bercanda lagi.”
“Bali aja gimana?” Aku menawarkan lokasi dan wisata klise, samasekali bukan ide yang cemerlang. Bali selalu menjadi pilihan umum untuk liburan atau bulan muda. Seharusnya aku mengajukan tempat tidak biasa yang berpemandangan tak kalah indah, agar calon suamiku terkesan. Tapi sepertinya sejak awal aku memang tidak mengesankan. Entah kenapa Alex selalu nampak terkesan, tiapkali kami bertemu pandang.
“Bali, Bali, Bali.” Alex menggilirkan kata yang sama berkali-kali, lalu mengakhirinya dengan gumaman panjang, nampak tengah menimbang dengan sok mengerutkan dahi. “Hmmm. Dihotel Bali ada kamarnya ‘kan? Kalo gitu aku nggak keberatan.” Alex nyengir tanpa merasa bersalah, aku terperangah sejenak lalu kembali melayangkan pukulan ringan, dan memprotesinya, “Bahasannya gitu mulu. Ih! Jorok!”
“Jorok-jorok gini, aku calon suamimu, loh.” Alex mengangkat kedua alisnya tinggi, senyum nakalnya membuatku gemas. “Aku akan jadi lebih ‘jorok’ lagi setelah menjadi suamimu, bersiaplah.” Alex mengedipkan sebelah mata, seakan seperti rambu peringatan untuk tahap-tahap indah yang akan kami lalui. Aku tak bisa menahan senyum lalu mencubitnya sekilas, Alex mengaduh, lalu berseru, “Aduh! Cubitannya mesra sekali!” Alex tertawa, aku berbunga-bunga melihat mukanya memerah. Meskipun tanpa segan, sepertinya dia malu-malu karna menggodaku dengan lawakan ngawurnya. Tak apalah, yang penting aku punya suami romantis yang humoris meskipun berkedok ketus dan dingin.
Alex mendadak menepikan mobil, mengabaikan kebingunganku. “Kenapa? Udah sampe?” Aku mengedarkan pandangan kesekitar, tak ada bangunan atau semacamnya, yang ada hanyalah jalanan sepi dengan deretan pohon yang rindang. Mendadak, aku ketakutan. Mulai berprasangka, lelaki yang mengaku sebagai calon suamiku ternyata pembunuh berkapak yang akan menyeretku kehutan lalu membunuhku dengan sadis, menjadikanku salahsatu dari deretan koleksinya. Pikiran psikopat itu membuatku menelan ludah.
Alex meloncat keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil bagian tengah, sepertinya tengah mencari-cari sesuatu. Aku membayangkan Alex akan mengambil kapak, tali atau semacamnya lalu setelah itu mengikatku dan membunuhku. Pikiran buruk berprasangka itu mendorongku untuk membuka pintu dan kabur. Belum sempat mendorong pintu mobil hingga terbuka, Alex tahu-tahunya sudah bersender dipintu mobil. Menahanku agar tidak keluar.
“Mau kemana?” Tanyanya dingin.
Aku menelan saliva yang terasa pahit, “Nggak mau kemana-mana.”
Alex memajukan bibirnya yang mengerucut lalu mengetuk-ngetuk kaca mobil yang setengah terbuka, “Kacanya turunin lagi.”
Aku mengangguk patuh, dan menuruti perintahnya. Alex tersenyum, sepertinya senang mendapatkan calon istri yang penurut. Alex memajukan wajahnya, lalu berbisik gemas, “Aku sayang kamu.” Aku terdiam, mengatupkan kedua bibir rapat, melirik Alex yang nampak berseri-seri. Sepertinya pembunuh berkapak tidak mungkin memiliki wajah semanis ini. Iya ‘kan? Tak sepantasnya aku berburuk sangka kepada calon suamiku sendiri. Maafkan aku, Ya Tuhan. Yang berprasangka buruk terhadap sosok yang engkau takdirkan.
Alex membuka pintu mobil disebelahku hingga terbuka lebar, aku mengernyit tidak menemukan kapak digenggamannya, melainkan sebuah kotak merah yang membuat sepasang mataku membulat. Alex tersenyum setelah memastikan ekspresiku, lalu bertekuk dihadapanku dan membuka kotak cincinnya. “Jarinya ulurin, kalau tangannya dikepalin cincinnya nggak bisa masuk, aku nggak punya gelang emas soalnya.” Aku tertawa canggung lalu mengulurkan tangan dihadapannya, dengan telapak yang membentang sempurna. Alex dengan hati-hati meraih jemariku lalu memasangkan cincin berkepala besar dijemari manisku. Setelah cincin indah itu terpasang sempurna, jari ibunya mengusap punggung tanganku dengan ringan.
“Sejak kapan kamu punya ini?” Aku bertanya.
“Aku iseng beli waktu di luarnegeri, nemenin Kakak Ipar yang mau beliin perhiasan untuk Kakak perempuanku.” Alex terkekeh, jempol tangannya masih membelai lembut punggung tanganku yang sedikit gemetar. Ya, aku gugup. Alex tersenyum menyadari itu.
“Kata Kakak Ipar nggak ada salahnya aku iseng-iseng punya cincin, siapa tahu dapat jodoh dadakan ditempat yang tidak terduga. Dan ternyata, dia benar. Kamu jodoh dadakan yang dia maksud.” Alex berdecak kagum, “Alur yang dirancang Tuhan memang sempurna. Aku bersyukur dipertemukan denganmu dalam skenarionya.”
Aku membalasnya, sambil tersenyum. “Aku juga.”
Adegan takdir ini benar-benar mengejutkan.
Thanks Allah, semoga Alex adalah jodoh yang terbaik yang membantuku melupakan Mas Bian yang bukan jodohku yang sebenarnya.

Komentar Buku (161)

  • avatar
    LawatiSusi

    kayaknya seru cerita ini

    6d

      0
  • avatar
    ZhazaliAnwar

    ya oke

    25d

      0
  • avatar
    PutriRia

    Bagussss

    24/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru