logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

2: Bule di Gang Sempit

“Are you okay?” Sepasang manik itu seperti meracuniku, membuatku tak dapat mengalihkan pandangan dari tatapannya yang teduh. Aku menyadarkan diri, lalu menunduk dalam. “Aku baik-baik saja,” gelengku, mengabaikan pergelangan tanganku yang berdarah berserta beling sebagai senjatanya yang dilirik lelaki tersebut berkali-kali. Tentu, dia lebih mempercayai kedua hal itu daripada jawaban dustaku.
Lelaki bermata biru itu berujar, “Kamu tidak kelihatan baik-baik saja.”
Aku menggeleng membantahnya, “Aku baik-baik saja.”
Aku terkejut saat dia menarik pergelangan tanganku yang diam-diam kusembunyikan dibalik punggung, lelaki itu menunjukkannya padaku, “Ini buktinya, kamu tidak baik-baik saja.” Aku membisu, tidak dapat memaksanya. Dia menatap pergelangan tanganku lama, maniknya nampak sedikit berembun. Tanpa aba-aba dia melepaskan kemeja putih yang dikenakannya, refleks membuatku menutup mata dan kembali membukanya perlahan saat ternyata dalaman kaus hitam yang tersisa membalut tubuhnya. Lelaki itu menyapu pergelangan tanganku yang berceceran darah dengan kemeja putihnya, lalu membalutnya dipergelangan tanganku untuk menghentikan pendarahan yang tidak berhenti. “Sekarang, baru kamu baik-baik saja.” Lelaki itu tersenyum tipis, entah karna efek apa, aku rasa kedua mata birunya seperti bercahaya.
“Kamu kenapa?” Lelaki berwajah sempurna dan menawan itu, kembali bertanya. Nadanya dingin dan setengah khawatir.
Aku menggeleng, tak memberikan jawaban.
“Kamu kacau.” Lelaki itu menjawab pertanyaannya sendiri, lalu membuat pertanyaan baru, “Lalu kenapa kamu kacau?”
Aku kembali menggeleng, masih dengan kepala menunduk, lelaki itu menjulang dihadapanku. Menatapku dari atas, dengan sepasang mata birunya yang menghipnotis. Jika aku balik menatapnya, mungkin aku akan kebablasan menjawab seluruh pertanyaannya sampai menyentuh jawaban-jawaban pribadiku yang tak seharusnya kubeberkan. Termasuk, alasan kenapa aku menjadi seperti ini.
“Hei,” lelaki itu agak mendesak. “Kenapa kamu diam?”
Aku takut-takut mendongak, terkejut menangkap emosi tersirat dari manik matanya yang menajam. “A-aku ..” Aku terbatah, berusaha mencari jawaban yang wajar dan dapat diterima. “A-aku tak bisa mengatakannya kepadamu.”
“Kenapa?” Lelaki itu menyudutkanku, dengan sikap keras kepalanya.
Dengan ragu-ragu aku menceluskan kalimat, “Karna kamu orang asing.”
Doeng! Sunyi setelah itu. Mendadak aku kelewat peka, langsung menyadari atmosfer disekitarku berubah tegang. Aku kembali mendongak, menemukan lelaki itu yang menatapku sinis dari atas, kedua iris birunya berkilat tajam, nampaknya dia tersinggung. Meskipun jawabanku benar adanya. Aku kembali menekankan agar dia berpikir ulang kalau aku tidak ada niatan untuk menyinggungnya, “Kamu memang orang asing buat aku.” Situasi bukannya membaik, iris itu semakin menatapku tajam.
Atmosfer melunak saat kudengar lelaki itu terkekeh, meskipun terdengar sedikit pahit. “Oh, ya?”
Aku mengangguk hati-hati, membuatnya mendengus geli.
Tubuhnya merosot, bertekuk dihadapanku. “Kalau begitu, aku ingin menjadi ‘seseorang’ buat kamu.” Senyum dinginnya terukir, mengerikan namun memesona. “Tepatnya, bukan orang asing.” Lelaki itu menggeleng, mendepak jauh-jauh kata ‘orang asing’ yang membuatnya panas.
“Seseorang?” Aku mengernyitkan dahi, tentu kebingungan dengan pengakuan mendadaknya.
Lelaki yang bahkan tak kuketahui namanya mengangguk samar. “Aku ingin kamu masuk kedalam hidupku dan tak bisa kembali keluar.” Ujung telunjuknya membelai sisi daguku yang kotor lalu gerakan tangannya berhenti, “Bersediakah kamu?”
Aku membelalak, firasat buruk menyelimutiku. “Untuk?”
“Menikah denganku? Menjadi istriku? Agar aku bisa menahanmu agar tidak bisa pergi?”
“Hah?” Aku kehabisan kata-kata, apakah dia bercanda? Belum genap 15 menit, dia sudah mengajakku menikah? Mas Bian saja, butuh bertahun-tahun aku menunggu sampai akhirnya mendapat pengakuan cintanya untukku dan akhirnya aku bisa menikah dengannya. Tapi lelaki dihadapanku ini, tanpa beban tanpa enggan bibirnya menceluskan kalimat yang tak bisa digunakan untuk main-main! Aku kesal, jika dia menyambungkan kalimatnya dengan kalimat ‘bercanda’! Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa, jika dia malah serius dengan ajakan dan kata-katanya--yang malah terdengar lebih mustahil. “Kamu bercanda?” Aku memberanikan diri untuk meragukannya.
Sudut bibirnya menyurut, menatapku tajam. “Apakah aku terlihat bercanda?” Membalikkan pertanyaannya, membuatku menelan ludah. “Aku serius. Bahkan, aku tak pernah seserius ini. Atau menginginkan seseorang sampai seperti,” lalu menekan ‘kan dengan pasti, “Hanya dalam sekali lihat, loh. Yaitu kamu.” Dia seperti berusaha meyakinkan aku, aku tersentak untuk gemetar.
“Kita bahkan .. tidak saling mengenal. Ini bahkan untuk pertama kalinya kita bertemu satusama lain.” Sebaliknya, aku berusaha untuk meragukannya.
Lelaki itu tersenyum sinis. “Kamu tahu istilah cinta pandangan pertama?”
Aku tersentak, tidak menjawabinya. “Aku belum pernah jatuh cinta, tapi saat melihatmu aku langsung tahu kalau aku sekarang tengah merasakannya. Seakan diberikan telepati dari Tuhan, kalau selama ini takdir yang kunanti adalah kamu yang ada dihadapanku.” Kata-katanya romantis, yang tadinya membuatku gemetar kini membuat luluh seketika. Manik terangnya masih menatapku, sangat menanti-nanti jawabanku yang tidak akan mengecewakannya.
“Aku menginginkanmu.” Ujung telunjuknya membelai ringan daguku yang berminyak. “Kamu mau tahu kenapa aku menginginkanmu?” Lelaki itu memberikan pertanyaan dengan alis yang terangkat sebelah, terkekeh saat aku malah menggeleng dan mengaku pasrah, “Aku juga tidak tahu.”
“Kamu cantik,” dia mengagumi setiap pahatan diwajahku yang kusam, “Tapi bukan hanya sekedar itu saja.” Sambungnya dengan gelengan kecil, “Kamu lebih dari sekedar cantik.”
“Aku tahu, kamu kacau ada alasan menyakitkan dibaliknya. Ekspresimu mencerminkan segalanya, dan kehancuran itu juga salahsatu pendorong yang membuatku jatuh cinta.” Aku terdiam, mendengarkannya yang sepertinya masih akan melanjutkan kalimatnya. Dilain sisi membuatku berdebar, disisi berlawanannya lagi membuatku keheranan. Jari telunjuknya kembali membelai daguku, lembut dan nyaman. Sentuhan kecil yang menenangkan.
“Kamu kehilangan, bukan?” Aku terkejut mendengar tuduhannya yang tepat sasaran, dapat membaca raut kagetku dia tersenyum mengerti, “Terlihat jelas dari matamu.”
“Jika kamu bersamaku, kamu tidak akan kehilangan apapun lagi.”
Aku terhenyak, masih terdiam menanti lanjutan kalimatnya.
“Jika kamu bersamaku, takkan ada lagi yang akan meninggalkanmu. Terutama aku.”
“Dan,” telunjuk itu beralih, mendarat ringan diujung hidungku. “Aku akan menerima segalanya yang ada pada dirimu. Kelebihanmu, terutama kekuranganmu. Aku takkan mempermasalahkan apa yang orang meninggalkanmu permasalahkan.”
“Nggak mungkin.” Aku menyela, menggeleng tidak percaya. “Aku tidak percaya.”
Lelaki itu meringis sambil terkekeh. “Sebutkan semua kekuranganmu, semuanya akan aku anggap sebagai anugerah.”
“Aku mandul.” Tanpa segan aku segera menyambar kalimatnya, aku yakin setelah ini dia akan mencabut semua kata-katanya dan berbalik meninggalkanku.
Kedua mata lelaki itu membulat lalu tertawa. “Mandul? Oh, ya?” Tak ada keberatan dalam kalimatnya, seakan-akan bukan berita yang menggemparkan yang dia dapatkan dari perempuan yang baru dilamarnya. “Berarti kita memang ditakdirkan untuk menghabiskan waktu bahagia berdua saja sampai akhir hayat. Bukankah itu mendebarkan? Tanpa perlu memusingkan permasalahan anak? Kita dapat menikmati hari demi hari dengan romantis, seakan-akan seperti pengantin baru seumur hidup, meskipun kita berdua sudah sama-sama menua.”
Aku terhenyak, tepatnya membelalak. Tak bisa memastikan, yang dikatakannya itu seriusan atau hanyalah rayuan semata agar aku luluh begitu saja. “Iya, untuk sekarang. Semakin lama, kamu akan muak sama aku. Manis diawal, pahit diakhir! Kamu mau aku merasakan hal semacam itu untuk keduakalinya! Mengatakan akan menerimaku dan tidak akan melepasku, tapi ujung-ujungnya kamu tetap pergi! Sambil melempar surat cerai kehadapanku dan memaksaku untuk menandatanganinya! Mendapat predikat ‘perempuan cacat’ untuk keduakalinya, iya?!” Aku berubah emosi, nafasku berantakan dengan dada yang naik-turun. Lelaki dihadapanku nampak terkejut, tubuhnya tegang, wajahnya datar dengan kedua sisi rahang yang mengeras.
Aku malah mendapatkan jawaban berbeda dari yang aku duga. “Suami kamu sebelumnya memperlakukan kamu seperti itu?” Saat emosiku mereda, giliran dia yang nampak emosi. Aku menelan ludah, nyaris mengangguk lalu memilih untuk membuang muka. “Hei.” Lelaki itu memanggil, sarat akan emosi yang tertahan. “Jangan menunduk, tatap aku balik.” Pintanya, tanpa ada intonasi memerintah. Aku mendongak hati-hati, terkejut saat jatuh tenggelam dalam lautan matanya yang berkaca-kaca, nampak berimpati terhadapku seakan-akan ikut merasakan apa yang kurasakan.
“Aku berbeda,” jelasnya, memulai diskripsi tentang dirinya sendiri. Kini aku seutuhnya terjebak dalam keterkesimaan. “Bukan manis diawal namun pahit diakhir. Tapi .. Aku mengejutkan diawal, tapi tetap sangat manis sampai akhir. Sekarang, aku tengah memaksamu untuk menerimaku, dan nanti meskipun kamu sendiri yang memaksaku untuk pergi, aku takkan pergi. Aku akan selalu mengingat betapa meresahkannya saat-saat ini ketika aku membujukmu yang keras kepala, akan sangat disayangkan jika aku menyia-nyiakan seseorang yang untuk pertama kalinya benar-benar aku perjuangkan,” dia menyela kalimatnya dengan kekehan lalu memberikan senyum dan melanjutkan. “Aku takkan melemparkan surat cerai kehadapanmu. Yang aku takutkan, mungkin kamu yang akan melakukan sebaliknya. Jika itu terjadi, aku yang akan merobek-robeknya tepat dihadapanmu.”
“Kamu tidak perlu ketakutan karna hal itu.” Dia menggeleng, membuat beban dalam dadaku menyeluruh keluar. “Sekarang, aku yang tengah ketakutan. Takut, akan kamu sia-siakan.”
Aku menggeleng, menyia-nyiakan orang semacam dia, tentu tidak mungkin.
“Will you marry me?” Dia kembali menekukkan kaki, mengulangi pertanyaannya, menundukkan kepalanya. Aku ragu, ragu untuk menolaknya, masih belum terlalu yakin untuk menerimanya. Ini terlalu cepat untukku menemukan pengganti. Dia mendongak, “Kamu takkan kehilangan apapun lagi, selain kebebasanmu.”
Kebebasanku?
“Setelah ini, aku takkan membiarkanmu mendapatkan alasan untuk meninggalkanku. Mungkin kamu akan terkekang. Tapi, aku akan menerimamu dan menjagamu .. lebih dari siapapun.” Panik menyerembat, mungkinkah setelah ini aku akan menjadi ‘bagaikan burung dalam sangkar’? Mendapat kasihsayang, perlindungan tapi aku takkan bisa kemana-mana? Dengan alasan, agar aku tidak meninggalkannya seperti yang lelaki ini takutkan?
Aku ragu ..
Tapi bukankah, aku akan mendapatkan yang namanya ‘tempat pulang’?
Jika dia tidak akan membiarkanku pergi, berarti dia punya alasan kuat untuk mempertahankan aku agar dia tidak menjadi orang yang membiarkan/mendorongku pergi seperti yang Mas Bian lakukan?
“Aku tengah memaksamu.” Dia memberikan penjelasan dengan kekehan yang segera diakhiri, “Tapi aku harus memberikanmu kesempatan untuk memikirkan ulang untuk bersamaku, atau tidak? Jujur saja, menerimaku bukan pilihan yang bagus, jika kamu suka kebebasan.”
Dia tertunduk pasrah, ketidakberdayaannya membuatku kembali luluh.
Aku menyambut tangannya yang menyentuh tanah dengan canggung lalu menjawab dengan senyum merekah, “Ya, aku akan menikah denganmu. Dengan kebebasanku sebagai jaminan, dan kasihsayangmu sebagai imbalan.

Komentar Buku (161)

  • avatar
    LawatiSusi

    kayaknya seru cerita ini

    6d

      0
  • avatar
    ZhazaliAnwar

    ya oke

    25d

      0
  • avatar
    PutriRia

    Bagussss

    24/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru