logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Suamiku Bule Childfree

Suamiku Bule Childfree

Ollane


1: Diceraikan Karena Mandul

Aku kehilangan semuanya. Nyaris ikut kehilangan diriku sendiri.
Aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan beling yang kutemukan tergeletak ditengah jalan, kugagalkan saat teringat Tuhan takkan ridho dengan pikiran buntuku itu. Meskipun tanganku sudah berceceran darah tapi kuurungkan untuk menyayat lebih dalam. Padahal itu merupakan satu-satunya ide yang kutemukan untuk kedepannya, bukan untuk menyambung hidup melainkan mengakhirinya.
Beberapa tahun yang lalu, aku adalah istri yang berbahagia. Punya suami yang baik dan keluarga yang kukira sakinah mawaddah warahmah. Seperti yang kuharapkan sejak masih melajang. Bertahun-tahun suamiku mengharapkan keturunan, selalu bersabar tatkala hasil testphack tak kunjung positif. Mungkin sebenarnya dia muak menunggu, tapi selalu menutupinya. Lama-kelamaan dia sudah kehabisan kesabaran, sikapnya mulai berubah, mengamuk tiap kali aku menunjukkan testphack yang hasilnya negatif. Mengulanginya lagi, memperoleh hasil yang sama, semakin mengamuk, lalu setelah itu pergi tanpa meminta maaf.
Ibu mertua semakin memanas-manasi keadaan, menasehati suamiku berkali-kali dengan intonasi suara memaksa, menyuruh menceraikan perempuan cacat sepertiku dan mencari perempuan sempurna lainnya yang bisa memberikannya anak. Pernikahan kami sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun, mengabaikan penjelasan dokter yang menerangkan kalau aku dan suamiku sehat-sehat saja, Ibu Mertua masih bersikeras menuduhku perempuan mandul yang tak pantas untuk anaknya!
Meskipun sikap suamiku berubah, aku berbunga-bunga saat dia membantah keras untuk menceraikanku lalu meninggalkan Ibu Mertua yang masih berkoar-koar menyebutku perempuan mandul yang tak pantas untuk dipertahankan. Saat dia masuk kedalam kamar aku memeluk punggungnya, aku kecewa saat dia menepis tanganku lalu menjatuhkan diri keranjang, memunggungiku dingin tanpa berucap apa-apa. Aku menangis tanpa suara, menatap punggungnya yang bidang. Aku berusaha menahan air mata, setidaknya Mas Bian masih bersikeras untuk mempertahankanku, itu sudah lebih dari cukup.
Aku berusaha menarik perhatian suamiku kembali, memberikannya perhatian lebih dan berusaha untuk menyenangkannya. Seakan-akan semua yang kulakukan tak berarti, Mas Bian selalu memberikan respon negatif. Mengacuhkan, dan terus mengabaikan, semenjak insiden ratusan testphack bergaris satu yang membuatnya mengamuk, Mas Bian selalu enggan untuk menyentuhku dan menolak saat aku memeluknya duluan. Semua perhatianku tak ada yang menarik minatnya, dari sepasang maniknya yang biasanya menatap hangat kini selalu nampak dingin. Aku berusaha semaksimal mungkin, dengan ber-positif thinking mungkin Mas Bian hanya tengah frustasi untuk menerima keadaan. Tapi semakin lama semua perhatianku malah membuatnya muak. Hidangan diatas meja berbagai menu yang sudah kusiapkan dihamburkannya kelantai hingga berantakan, lalu setelah itu berucap dingin namun tenang, “Saya nggak lapar.” Melesat pergi tanpa mengucapkan sepatah kata penyesalan.
Aku terhenyak, namun bertekad untuk tidak menyerah. Suamiku yang lembur diruangannya, tanpa diminta aku menghantarkan segelas kopi hangat dan makanan ringan. Saat aku mendorong pintu, Mas Bian nampak agak terkejut lalu kembali menurunkan kepalanya menatap layar laptop, memilih mengacuhkanku yang melemas karna diabaikan. Aku meletakkan piring dan gelas yang kubawa keatas meja, lalu memilih menungguinya diatas sofa. Mas Bian masih berkutat dengan deretan keyboard, mengacuhkan makanan yang kubawa, begitupula aku yang berada disatu ruangan dengannya seakan-akan aku memang benar-benar tidak ada. Berjam-jam aku stay ditempat, dengan pandangan kosong menatap punggung yang masih terus memunggungiku. Kopi yang kusediakan sudah lama mendingin, biskuit-biskuit diatas meja sudah tidak renyah lagi.
Mataku berat, tapi kupaksakan untuk tetap terbuka. Masih berharap pada harapan semu, agar suamiku berbalik, menghampiriku, lalu memelukku dan menciumku. Mengucapkan kata maaf, dan hubungan renggang kami kembali seperti semula. Harapan itu terbuang saat suara dingin Mas Bian memerintah tanpa berbalik, “Keluarlah.” Aku terhenyak, menatapnya berkaca-kaca. “Saya nggak bisa fokus kerja kalau kamu masih disini.”
“Mas,” aku memelas, nyaris beranjak untuk membujuknya dengan memeluknya.
“Keluarlah!” Mas Bian membentak, lalu menoleh tajam, “Kamu tahu saya nggak suka dibantah ‘kan?” Kalimatnya sarat akan emosi, yang bisa meledak kapan saja jika aku menyulutnya dengan kembali menyela kalimatnya.
Aku hanya mengangguk patuh, mengusap sudut mata lalu sedikit tertatih menuju ambang pintu dan hilang dibaliknya. Dibalik pintu aku menangis, lalu memilih salat Tahajud setelah terlelap hanya dalam setengah jam. Satu-satunya tempatku mengeluh dan mengadu hanya kepada Tuhan, suamiku yang biasanya menjadi sandaranku kini berada satu ruangan denganku saja sudah merasa risih.
Sambutan Ibu Mertua setiap harinya untuk Mas Bian anaknya, selalu saja kalimat melengkingnya yang menyuruh suamiku untuk segera menceraikanku. Dulu, Mas Bian membangkang dengan keras. Kini dia tak menjawab apa-apa, hanya membisu lalu melengos pergi. Aku takut kalau Mas Bian mulai kemakan omongan Ibu Mertua, aku nggak mau dia menceraikanku, meskipun seharusnya aku tahu diri, raga ini tidak sempurna, tidak dapat memberikan apa yang sangat keluarga ini harapkan. Seperti yang Ibu Mertua katakan, jika aku sadar diri, seharusnya aku yang mundur duluan. Tapi aku tidak mau menyerah dalam ikatan yang sudah berlangsung selama tujuh tahun. Apalagi, aku sangat mencintai Mas Bian. Aku sudah menghabiskan separuh hidupku untuk mencintainya seorang selama ini.
Hari demi hari, sikap Mas Bian semakin menjadi-jadi. Jarang pulang kerumah, kalaupun pulang selalu menghabiskan waktu diruang kerja dan tidur disana, tak pernah lagi satu ranjang denganku. Sesekali masuk kamar jika ingin membersihkan diri atau mengambil berkas-berkas penting. Biasanya aku menguping diam-diam pembicaraan Mas Bian dengan Ibu Mertua yang topiknya selalu sama, Ibu Mertua seperti ingin mencuci otak suamiku agar melepaskanku. Tapi dalam beberapa hari terakhir ini, aku lihat wajah Ibu Mertua senantiasa berseri-seri, perdebatannya dengan Mas Bian yang nyaris terjadi setiap hari akhir-akhir ini tak terdengar. Saat berbincang seru dengan sosok diseberang sana melalui via telepon dia nampak sangat bergembira. Aku keheranan, tentu saja. Biasanya wajahnya sangar dan suram. Tapi setiap kali kami berpapasan, ada sorot rendah bercampur puas yang tertangkap untukku. Tidak seperti biasanya, yang selalu melihatku dengan wajah muak dan kesal secara bersamaan.
Secara mendadak, malamnya aku menemukan Mas Bian yang kembali seperti semula. “Sayang.” Dia tersenyum menyambutku yang membuka pintu, sementara aku bergeming saking terkejutnya. Mas Bian memelukku tanpa aba-aba lalu menciumku lembut, membawaku masuk dan setelahnya kami menghabiskan malam yang indah dengan saling berpaut satusama lain. Aku tak menyangka, kebahagiaanku akan kembali secepat ini. Tapi bayangan senyum sinis Ibu Mertua muncul dibenakku, memberikanku firasat buruk. Dan ternyata, kenyataan tragis menyambutku dikeesokan harinya.
Sikap Mas Bian kembali dingin setelah pulang dari kantor. Aku yang menyambutnya tertegun, lalu hanya bisa menunduk pasrah saat tanganku yang ingin menyambut tangannya untuk mencium balik punggungnya termasuk saat aku ingin membantunya melepaskan jas dan dasi selalu ditepis. Tanpa berkata apa-apa, Mas Bian melesat pergi dengan melepaskan jas dan melonggarkan dasinya sendiri. Aku mengikuti punggungnya sampai kamar, tanpa berani berucap hanya duduk bersimpuh ditepi ranjang, diam-diam memperhatikannya yang tengah berganti pakaian. Mas Bian membuka tasnya lalu melemparkan selembar amplop yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Dengan tangan gemetar, aku meraih amplop yang jatuh disisi kakiku lalu membacanya. Air mataku berhamburan dipelupuk mata, meleleh membasahi kedua pipi. “Mas ..” Aku memelas serak, “Kamu serius mau menceraikanku?”
Mas Bian memberikan tatapan dingin. “Tanda tangani itu, jangan membantah.” Kecamnya, setelah membuang muka kelain arah.
“Mas,” aku berdiri, hendak meraih lengannya yang segera ditarik. “Aku sangat mencintai kamu, Mas. Aku nggak mau kamu melepaskan aku.” Aku memohon, menginjak-nginjak harga diriku sendiri.
“Maaf.” Singkat, Mas Bian membalas dengan ketus.
Aku menyerah, menangis serak dihadapannya. Mas Bian bergeming dihadapanku, tanpa mengucapkan sepatahkatapun, masih diam seribu bahasa, masih dengan tatapan dingin yang sama. Ternyata, dia memang tidak punya alasan untuk mempertahankan aku lagi. Tanpa keraguan, layaknya seperti Ibu Mertua pandangan Mas Bian terhadapku sama saja, seorang perempuan cacat yang tak pantas dipertahankan.
“Tetap tinggal ‘lah disini sampai masa iddah kamu selesai.” Mas Bian berujar dingin tanpa menatapku yang masih menangis disela kalimatnya. “Setelah itu, terserah kamu mau pergi kemana saja dan menikah dengan siapa saja.” Sedikit nada serak yang tersamar dalam kalimat dinginnya, tanpa menunggu jawabanku Mas Bian melengos pergi. Dari deru keras mesin mobil dihalaman, aku tahu dia melesatkan mobilnya pergi entah kemana. Aku masih menangis, terpojok disudut kamar, masih terisak keras. Berminggu-minggu aku berada diposisi yang sama. Sesekali beranjak tiapkali azan berkumandang, kembali terisak saat membentangkan tangan untuk berdoa, berakhir menangis diatas sajadah, tergolek lemas dilantai sambil memohon ketabahan dan kekuatan kepada Tuhan. Berminggu-minggu pula Mas Bian tidak kunjung pulang, mungkin dia takkan kembali jika aku belum pergi dari rumahnya. Dikesekian minggu-nya, Ibu Mertua--tepatnya Mantan Ibu Mertua--yang nampak bersemangat menyeretku untuk mengusirku. Aku melawan pada awalnya, karna Mas Bian sudah beramanah. Mantan Ibu Mertua mengacuhkan penjelasanku, memukulku lalu menamparku, dibantu oleh Mantan Adik Ipar perempuanku yang bernama Lucy. Sedangkan Andika, Mantan Adik Ipar lelakiku yang setahun lebih muda dari Mas Bian hanya menonton dengan wajah datar, tanpa ada niat untuk membantu. Dia bersandar dikepala sofa sambil bersedekap dada, ekspresinya seakan menonton pertunjukan membosankan dengan aku yang sebagai pemeran tragisnya. Barang-barangku yang sudah dikemasi oleh Lucy--yang dipilihinya yang buruk-buruk sedangkan yang mahal dan bermerk disimpannya untuk dirinya sendiri--dibuangnya ke tengah halaman berserta diriku yang didorong keluar. Tanpa bisa membantah, aku dengan lunglai berjalan meninggalkan rumah megah itu meskipun hari sudah menggelap menjelang malam.
Dengan berjalan kaki, selama dua jam aku sampai dirumah Bibi-Pamanku. Awalnya mereka nampak bergembira meski heran melihatku yang nampak urak-urakan. Mendengar ceritaku, wajah mereka berubah masam padahal tangan Bibi sudah terlentang untuk meminta uang. Dengan alasan tidak mampu menampungku mereka menolak menerimaku, secara halusnya mengusirku!
Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah. Tidak terlalu mengherankan bagi mereka, aku bukan keponakan kandung Bibi dan Pamanku. Aku yatim-piatu sejak lahir, dititipkan dipanti asuhan hingga akhirnya diasuh oleh keduaorangtua angkatku waktu aku berusia 5 tahun. Orangtuaku meninggal saat aku SMA, dengan terpaksa Bibi dan Pamanku menampungku yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Dengan tuntutan tak terbantahkan, aku harus cari uang sendiri untuk biaya sekolahku dan untuk keperluanku sendiri yang seringnya juga kuberikan kepada mereka. Menjelang wisudah aku menikah dengan Mas Bian sampai beberapa minggu yang lalu pernikahan kami berlangsung selama lebih dari tujuh tahun. Aku sekarang sudah cukup berumur, tepatnya 28 tahun.
Aku berjalan tanpa arah menelusuri tepi-tepi kota Jakarta. Dengan penampilan urakan, wajah kusam tak terawat, sandal jepit yang nyaris putus, dibawah naungan langit yang gelap gulita. Singgah ke mushola, aku beribadah. Merenung sebentar, menangis sambil bersujud lalu kembali berjalan lunglai tanpa arah yang pasti. Sejuta orang yang kulalui pasti mengira aku orang gila yang kabur dari Rumah Sakit Jiwa, karna penampilanku mencerminkan hal yang sama. Hingga tubuhku sudah tak bertenaga, jatuh tersungkur digang sempit yang sepi. Aku terduduk memeluk lutut, menangis terisak. Berjam-jam berlalu, aku kehabisan suara. Untuk pertama kalinya merasa dibentangkan jalan saat menemukan beling kaca yang tergeletak. Aku meraihnya, menyayatnya ketangan. Indra perasaku sudah mati rasa sehingga aku tidak dapat merasakan yang namanya rasa sakit, jadi tidak ada alasan untukku berhenti.
Mendadak gerakanku terhenti, membanting beling itu lalu menangis. Ini bukan jalan, karna aku sudah tidak punya jalan yang bisa aku lalui lagi. Aku merengsak kesudut, mendalamkan sandaran punggung, bukan hanya darahku yang berceceran, airmataku kembali berceceran membasahi pipi. Tanpa suara, aku hanya bisa menangis tercekat.
“Are you okay?” Sebuah suara cemas membuatku menarik kepala, mendongak keatas.
Menemukan sepasang mata biru yang berkaca-kaca. Aku luluh, Tuhan memberikanku jalan. Melalui dia.

Komentar Buku (161)

  • avatar
    LawatiSusi

    kayaknya seru cerita ini

    6d

      0
  • avatar
    ZhazaliAnwar

    ya oke

    25d

      0
  • avatar
    PutriRia

    Bagussss

    24/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru