logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 25 END

Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang.
"Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian."
"Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.
Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku."
"Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."
Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi.
"Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya.
"Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uang, 'kan?" Pertanyaan Aksara membuat Soraya tampak gelagapan. "Setidaknya jaga sikap dan kelakuanmu."
"Oh, pasti, aku akan menjaga sikapku. Demi diriku sendiri, bukan untuk Edlyn." Seringai wajah Soraya membuatku ingin menghajar wanita itu. Soraya berbalik--meninggalkan kami. Berjalan lambat menuju Pak Danu yang berdiri di pintu masuk utama vila.
"Ayo, pulang," ajak Aksara.
Aku bergeming. Kedua telapak tanganku mengepal. Soraya kau benar-benar wanita menjijikkan.
"Soraya tidak pernah berubah, tidak akan pernah," ucap Aksara, dia bisa menebak pikiran terdalam diriku.
Dalam perjalanan pulang aku membisu, memandangi keluar jendela mobil--pada kilat yang bergeriap di langit malam. Pun ketika mobil sudah berhenti di depan rumah, aku langsung melangkah masuk. Aksara hanya menatapku.
Kutapaki satu demi satu anak tangga, kemudian kedua kaki mengarah ke kamar Edlyn. Pintu kamarnya tidak terkunci, kamar dengan dominasi warna hijau itu tidak ada penghuninya. Bahkan, tempat tidur Edlyn masih rapi. Tidak mungkin Edlyn pergi dari rumah.
Pikiranku tidak karuan, berjalan cepat ke kamar sebelah--kamar Amanda. Napasku yang tadinya tercekat, menjadi ringan setelah melihat Edlyn tidur di samping Amanda. Kedua putriku lelap dalam tidur. Aku menarik selimut, untuk menyelimuti tubuh mereka. Mengambil buku yang tergeletak di atas perut Amanda. Juga melepas earphone dari telinga keduanya. Rupanya Edlyn dan Amanda mendengarkan musik bersama-sama.
Aksara muncul dari balik pintu. "Kau baik-baik saja?"
Air mata merayap turun di pipi. "Aku tidak baik-baik saja. Bagian tergelap diriku ingin melenyapkan Soraya. Aku ingin sekali ... dia mati. Tidak ada di permukaan bumi. Sehingga dia tidak bisa menyakiti hati Edlyn."
"Atau Bu Rosie, aku juga ingin dia lenyap. Biar tidak menggerogoti pikiran Amanda. Pada titik ini, aku merasa lelah sekali. Sangat lelah. Aku capek, Aksara ...." Aku berjalan keluar dari kamar Amanda. Tubuhku luruh dalam tangis. Pengap, sesak, dan kehilangan energi.
Aku menguak pintu kamar, kemudian tanpa melepas sepatu langsung limbung di atas ranjang. Meringkuk seperti bayi.
"Istirahatlah," ujar Aksara, membantu melepas sepatu yang kupakai. Lalu dia merengkuhku dari belakang. "Ternyata, kamu bisa serapuh ini ...."
***
Soraya menepati janjinya sebelum pukul enam pagi. Dia bernampilan elegan seperti biasanya. Wajahnya tidak tampak lelah. Dia mengakui kebohongannya, yang sebenarnya adalah dia yang meninggalkan Aksara dan Edlyn. Dia sangat detail dan runut menceritakan masa lalunya bersama Aksara. Bahwa dia pergi sejak Edlyn berusia batita.
"Bukannya dia hanya akan mengakui kebohongannya, dan meminta maaf?" tanyaku pada Aksara, tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
"Aku yang menyusun 'pidato' Soraya," sahut Aksara seraya meletakkan secangkir teh yang mengeluarkan kepul uap di atas nakas. Aroma melati menguar. "Beberapa jam lagi aku akan memusnahkan foto dan video milik Soraya."
Aku menghela napas. "Semoga dia tidak berulah lagi, dan sadar. Ya, semoga saja."
"Aku tidak yakin Soraya bisa sadar," timpal Aksara. "Maksudku, bisa sadar dalam hal memburu pria kaya."
Aku mematikan saluran televisi. Di atas nakas ada nampan kayu berisi cangkir teh, sepiring roti bakar, dan satu tangkai bunga mawar putih. Ada catatan kecil. Aku tertawa ketika membacanya: selamat pagi, Cintakuh, istrikuh, belahan jiwakuh, yang selalu mengencangkan kolor hatiku.
"Kenapa tertawa?" tanya Aksara.
"Kolor hati?"
"Iya, kemarin kolor hatiku sempat renggang. Tidak mengucapkan terima kasih? Aku pagi buta sudah mengambil bunga mawar putih khusus untukmu," ujar Aksara.
"Itu bunga mawarnya Edlyn, sudah izin belum?"
"Edlyn tidak bakalan marah." Aksara memandangku lekat. "Tadi malam adalah air mata kesedihanmu yang terakhir, aku akan membuatmu terus bahagia," lanjut Aksara.
"Ya, karena aku berhasil mengencangkan kolormu." Aku tertawa lagi, dan terguling di atas tempat tidur.
Aksara hanya menggelengkan kepalanya, dia serius mengenai ucapannya, tapi aku malah bercanda.
"Mau ke mana?" cegahku cepat melihat Aksara yang hendak berjalan.
"Mau mandi. Kenapa?"
"Oh, kirain mau pergi ke mana ...."
"Mau ikut mandi?"
"Ogah, mau tidur lagi," jawabku sembari menarik selimut. Tapi, sedetik kemudian kakiku meloncat dari tempat tidur dan menggelayut di punggung Aksara.
Sambil menggendongku, Aksara melangkah ke kamar mandi. Namun, saat sampai di bibir pintu kamar mandi, terdengar ketukan dan suara Edlyn.
"Ma! Sudah bangun?! Seragam untuk hari Rabu di mana, ya? Terus bandana warna hitamku kok nggak ada? Ma!?"
Aku melorot dari punggung Aksara. "Bapak dan anak sama, tidak bisa menemukan barang milik sendiri. Oh, ya, Tuhan ...." desisku.
"Ma! Mama, lihat earphone tidak?!" Suara Amanda ikut menyemarakkan dunia pagiku.
"Sayang, kamu lihat kaus kakiku warna abu-abu?" canda Aksara, tergelak.
Aku memutar kedua bola mataku. Oke, mari dicari seragam sekolah, bandana hitam dan earphone.
***
Ponselku berbunyi, nomor yang tidak aku kenal. Aku mengabaikan panggilan dan meneruskan menyetrika pakaian. Aku memutuskan tidak menambah ART. Hanya Lenni dan Bik Sumi. Ponselku berbunyi lagi. Mungkin penting.
"Halo?"
"Dengan Bu Hasna?" tanya wanita dari seberang.
"Iya, betul, dengan saya sendiri."
"Saya Wendi, perawat Bu Rosie. Beliau ingin bertemu Bu Hasna. Apa Bu Hasna bisa datang ke rumah? Kalau bisa dengan Non Amanda."
"Akan saya kabari jika saya datang," sahutku, lalu menutup panggilan telepon.
Kenapa mendadak Bu Rosie ingin bertemu? Aku dan Amanda telah memblokir nomor ponsel Bu Rosie, karena wanita itu masih sering mengumpat di pesan.
Aku mencabut colokan setrika, aku harus meminta pendapat Aksara terlebih dahulu. Dia sedang bermain basket dengan Edlyn.
"Mama mau ikut main basket?" tanya Edlyn.
"Mama mau bicara sebentar dengan Papamu."
Aksara mendekat, titik-titik keringat membasahi wajah dan punggungnya. Setelah aku menceritakan perihal Bu Rosie dia berkata, "Datang saja, bukannya dia wanita tua yang sudah ringkih. Apa yang perlu ditakutkan?"
Melihat aku yang masih ragu, Aksara menambahkan, "Aku akan menemanimu."
"Aku juga akan menemani Mama." Edlyn melempar bola basket, dan masuk dalam keranjang.
.
Hanya aku dan Amanda yang turun, sementara Aksara dan Edlyn menunggu di dalam mobil. Terakhir kali bertemu dengan Bu Rosie, mungkin tiga bulan yang lalu. Dalam sidang putusan akhir Mandala, yang di vonis hukuman 1,5 tahun penjara.
"Selamat sore, Bu Hasna," sambut Wendi ramah. "Silakan masuk."
Amanda memegang lenganku dengan erat, kami berdua melangkah masuk ke dalam rumah. Pikiran sungguh jelek, bagaimana kalau ini hanya jebakan.
Aroma minyak kayu putih menyusup ke hidung ketika sampai di kamar tidur Bu Rosie. Wanita itu tergolek di atas ranjang.
"Hasna, Manda ... terima kasih sudah datang." Bu Rosie agak cadel setelah mengalami stroke, tetapi ucapannya masih bisa dipahami.
Terima kasih?
Seumur hidup, baru kali ini aku mendengar Bu Rosie mengucapkan terima kasih. Sungguh luar biasa.
"Hasna." Bu Rosie menjeda sebentar, dia menarik napas dalam lalu melanjutkan, "Aku minta maaf atas perbuatanku selama ini."
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar. Bu Rosie meminta maaf?
"Oma juga minta maaf padamu, Manda." Bu Rosie mengulurkan kedua tangannya.
Aku memberi kode pada Amanda untuk menerima uluran tangan Bu Rosie. Dengan perlahan Amanda melangkah maju, tangannya menyambut tangan Bu Rosie.
"Aku meminta maaf pada kalian berdua, telah memisahkan kalian dari Mandala,"ucap Bu Rosie.
Haruskah aku terenyuh mendengarnya? Hatiku sudah tawar.
"Hasna, apa kau memaafkan aku?" harap Bu Rosie.
"Semua sudah berlalu, Bu Rosie." Aku tahu jawabanku bukan yang diharapkan Bu Rosie. Tapi, itulah yang paling jujur.
"Oma cepat sehat, ya ...." ucap Amanda.
Bu Rosie menitikkan air mata. Sepertinya dia benar-benar menyesali perbuatannya. Aku pun mendekat, kedua tanganku ikut menggenggam tangan Bu Rosie.
Wanita itu semakin berlinang air mata.
Setelah tangis Bu Rosie mereda dan cukup tenang, aku dan Amanda berpamitan pulang. Saat langkah kami berdua sampai di luar, nampak Aksara bersender di badan mobil, sedangkan Edlyn duduk di bagian bagasi. Keduanya melempar senyum.
"Dari raut muka kalian sepertinya tidak ada bom yang meledak," ujar Aksara.
"Oma Rosie meminta maaf pada kami," jelas Amanda.
"Baguslah. Bagaimana kalau kita makan malam di restoran?" ajak Aksara sembari masuk ke dalam mobil.
"Boleh," sahutku. "Lyn, apa kamu ingin duduk terus di situ?"
Edlyn tertawa kecil, dia bergegas masuk ke mobil--duduk di belakang dengan Amanda. Mobil menderu, meninggalkan pekarangan rumah Bu Rosie.
Setelah kami berempat berdebat mau ke restoran mana, akhirnya Aksara memilih restoran dengan variasi masakan yang lengkap. Edlyn dan Amanda sudah masuk ke dalam restoran, sedangkan aku dan Aksara berjalan lambat di belakang mereka.
"Hei, pasangan paling romantis," sapa Soraya yang baru saja keluar dari restoran, dia menggandeng seorang pria berkepala plontos.
Aku dan Aksara tidak menggubris. Bagi kami, Soraya hanya debu yang lewat.
"Aku akan menikah, ini calon suamiku," ujar Soraya. "Namanya Rehan, pengusaha batu bara."
"Baguslah. Selamat," sahutku, tetap berjalan di samping Aksara.
"Untuk orang seperti Soraya, aku tidak peduli dia mau apa. Jadi mari kita biarkan dia," ucap Aksara.
"Aku hanya basa-basi," sahutku, pelan.
"Tidak perlu basa-basi. Jika bertemu dengannya lagi, anggap dia tidak ada. Tidak perlu menanggapi. Oke?"
"Baiklah, Pak bos."
***
Satu tahun kemudian.
Amanda memeluk erat Mandala. Setelah bebas dari penjara, Mandala ingin menetap kembali di Charleston, AS. Dia mencium kening Amanda.
"Papa pasti akan mengunjungimu, Papa mencintaimu dan tidak mungkin melupakan putri Papa yang cantik," ucap Mandala.
"Atau kamu yang mengunjungi Papamu," ujarku, mengusap punggung Amanda.
Setelah memeluk Mandala, Amanda menghampiri Bu Rosie yang duduk di kursi roda. Kondisinya lebih membaik. Amanda memeluk Bu Rosie, dan mengucapkan selamat jalan.
"Hasna." Mandala mengulurkan tangannya. "Maafkan aku, dan selamat tinggal."
Dengan ragu aku menjabat tangan Mandala. "Selamat jalan, Mandala."
"Berapa usia kandunganmu?" tanya Mandala melepaskan telapak tanganku.
"Sembilan bulan."
"Bahagia dan sehat selalu untuk keluargamu. Bye, Hasna." Mandala berbalik, dia sekali lagi memeluk Amanda--sebelum mendorong kursi roda Bu Rosie.
Aku juga berdoa, semoga kau menemukan kebahagiaan, Mandala.
Tanganku merangkul bahu Amanda, kami berdua berjalan bersisian menuju mobil--meninggalkan bandara yang sibuk. Ketika mobil berhenti di lampu merah, aku melihat Soraya dengan motor matic-nya. Bagian belakang motor ada keranjang besar, berisi tumpukan baju laundry yang mungkin akan diantar ke pelanggannya.
Rehan--pria yang menikahinya--ternyata bukan pengusaha. Hanya menggerogoti dan menyedot uang Soraya sampai tidak bersisa. Soraya bangkrut, tidak sanggup membayar angsuran mobil dan rumah. Job sebagai model maupun pemain sinetron tidak ada. Perhiasan dan barang-barang branded-nya dia jual untuk membeli rumah kecil di pinggiran kota.
Pada awalnya dia masih bisa makan dengan sisa uang hasil penjualan, dia belum mau bekerja dan masih berharap pada dunia industri hiburan. Tidak ada teman yang membantunya, mereka seolah hilang dari Bumi. Menjauh dari Soraya.
Sekarang, dia harus berjibaku untuk sesuap nasi. Menghadapi kenyataan hidup yang tidak selalu manis. Dia harus menerima pahitnya hidup. Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan Soraya di mini market, biasanya dia akan bersikap pongah--sekarang ketika dia melihatku langsung melipir pergi tanpa ocehan.
Soraya menyadari, aku tengah memandangi dirinya. Dia langsung membuang muka. Lampu hijau menyala. Soraya mengambil lajur kanan, sementara mobilku lurus terus.
"Kita ke rumah sakit, Pak Wirjo," pintaku.
"Mau apa, Hasna?"
"Ya, melahirkan," jawabku. Sebenarnya tiga jam yang lalu sebelum mengantar Amanda ke bandara, aku mengeluarkan flek.
"Aku telepon Papa Aksara, ya?" Amanda terlihat agak panik.
Aku sudah pernah melahirkan Amanda, tapi itu terjadi 16 tahun yang lalu. Dan kehamilan yang kedua ini seolah menjadi yang pertama. Aku sudah lupa semua, sehingga harus membaca buku-buku tentang ibu hamil dan persalinan.
Aku mengusap perut buncitku. Sebentar lagi bertambah satu keluarga kami. Sabar, ya, nak ... kamu akan bertemu dengan mama dan papa juga kedua kakakmu yang cantik.
***
Aksara memasang pigura besar--potret kami berlima di dinding ruang tamu. Sementara aku duduk di sofa sambil memangku baby Arwen yang genap berusia dua bulan. Amanda dan Edlyn duduk di samping kanan kiriku.
"Pak Aksara paling ganteng di antara empat bidadari," celetuk Lenni. "Tambah satu lagi, Pak. Biar dapat cowok."
"Aku tidak mau, kasihan Hasna. Aku tidak tega melihat dia kesakitan waktu melahirkan baby Arwen," sahut Aksara. "Ketika Hasna menjerit kesakitan, rasanya tubuhku lunglai semua."
"Kamu tahu, Len, Papa menangis waktu keluar dari ruang persalinan. Papaku yang berbadan tegap, rajin nge-gym, main sepak bola, ternyata bisa selemah itu," ungkap Edlyn tertawa.
"Cukup, Lyn. Jangan kamu sebar luaskan rahasia papa," sergah Aksara.
Baby Arwen menggeliat gelisah, aku mencium bau tidak sedap. "Ada yang pup, nih."
"Sini, sama Lenni cantik saja." Lenni langsung mengambil baby Arwen dari pangkuanku. "Walaupun kamu bau pup, kamu tetap menggemaskan," ucap Lenni menciumi pipi gembul Arwen.
"Setelah bersih dan wangi sama Kakak cantik, ya, Dik." Amanda mengekori langkah Lenni yang menuju kamar.
"Kenapa semua mengaku cantik? Sama aku saja, Dik. Kakak paling heboh!" teriak Edlyn, menyusul Amanda dan Lenni.
Aksara duduk di sebelahku. "Aku memang paling ganteng."
"Tidak terbantahkan." Aku ikut memandangi foto keluarga yang baru terpasang. Setiap senyum yang tercetak menjadi gambaran betapa bahagianya kami.
"Aku akan membuat kalian selalu bahagia," kata Aksara.
"Aku tahu itu, Pak bos."
"Satu lagi."
"Apa itu?"
Aksara mendekat kemudian berbisik di telingaku, "I love you, Bu bos."
Aku tertawa mendengarnya.
"Aku suka melihat kamu tertawa," ungkap Aksara
Kepalaku bersandar di pundak Aksara. Aku telah melalui jalan kehidupan yang rumit. Dan aku bisa menempuh apa pun yang terjadi. Bahagia maupun duka. Karena ada Aksara yang selalu merangkul raga dan jiwaku.
"I love you too, Pak bos."
Selamanya.
END.

Komentar Buku (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Lihat Semua

Selesai

Rekomendasi untuk Anda