logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 14 Hati yang Menghitam

Gegas aku turun dari tempat tidur, tanganku menyambar kunci motor. Berlari keluar kamar.
"Hasna, mau ke mana?"
Pak Aksara mendadak muncul dari dapur saat aku mencapai pintu belakang.
"Sa ... ya ... harus pergi ke rumah sakit. Putri saya mengalami kecelakaan," sahutku sembari membuka pintu.
Dengan tangan gemetar aku berusaha memasukkan kunci motor. Persendianku terasa luluh lantak, aku tidak bisa konsentrasi hingga kunci jatuh di lantai.
Aku menarik nafas perlahan, mencoba untuk tenang. Kemudian aku merunduk, mencari kunci motor.
"Ban motor bagian belakang kempis."
Kedua tanganku menekan ban bagian belakang, benar kempis. Aku terduduk, di saat seperti ini motorku tidak bisa diajak kompromi.
"Masuk mobil," suruh Pak Aksara. "Aku akan mengantarmu."
"Saya ... bisa ...."
"Jangan membantah! kamu ingin cepat sampai ke rumah sakit atau tidak!?"
Aku bangkit berdiri, masuk ke mobil. Kami berdua sampai di rumah sakit menjelang pukul tiga. Rasa dingin yang menyergap tidak kupedulikan. Amanda sudah dipindahkan dari ruang gawat darurat ke ruang ICU. Mandala bilang Amanda kritis, ada luka parah di bagian wajah. Mobil yang mengantar Amanda pulang dari pesta menabrak pagar jalan bebas hambatan, membuat mobil terbalik dan terempas di pinggir jalan.
Sopir dan satu temannya meninggal di tempat kejadian, sedang dua teman yang mengalami luka ringan.
Tubuhku merosot di tepi bangku ruang tunggu, mengendalikan gejolak rasa sesak yang bergemuruh di dada. Aku berdoa dalam hati, semoga Amandaku cepat pulih dari kondisi kritis. Air mata membanjiri pipi. Rasanya aku ingin berteriak.
"Tenang, Hasna ...." Pak Aksara memegang kedua bahuku, membimbing diriku untuk duduk. "Pakai kemejaku, kamu terlihat kedinginan."
Pak Aksara menyampirkan kemeja kotak abu-abu tua di pundakku. Sekilas aku mendongak, dia masih memakai kaus warna hitam. Saking tergesanya dan khawatir tingkat tinggi, aku tidak sempat berganti baju apalagi membawa jaket.
Dari ujung lorong tampak Bu Rosie dan Soraya tergopoh-gopoh. Kenapa mereka mengizinkan Amanda pergi ke pesta?
"Pak Aksara tidak pulang?" tanyaku, lirih.
"Aku masih ingin duduk di sini lebih lama," jawab Pak Aksara, bersandar di punggung kursi, kedua tangannya menyilang di dada.
"Mau apa kamu di sini!?" Bu Rosie menghampiri Pak Aksara. "Pergi kalian berdua!"
"Aku Ibunya ...."
"Hasna adalah ibu kandungnya Amanda, apa hak Anda mengusirnya?" Pak Aksara menyela ucapanku. "Sebaiknya Anda berdoa untuk keselamatan cucu Anda, bukannya mencak-mencak."
"Kau lelaki brengsek, meninggalkan Garneta yang sedang hamil." Bu Rosie malah semakin menjadi.
"Tolong, rendahkan suara Anda ... ini di rumah sakit. Masalah Garneta, dia selingkuh dengan sopirnya," sahut Pak Aksara. "Oh, Anda sedih, ya? Karena tidak dapat perhiasan gratis lagi."
Muka Bu Rosie terlihat kecut.
"Pak Aksara, bisakah Anda pergi dari sini?" Kali ini Mandala yang meminta.
"Sayangnya, aku tidak mau," tolak Pak Aksara.
"Jadi benar kalian berdua ada hubungan spesial?" tuduh Mandala, memandangiku.
"Terserah kalian mau menilai hubunganku dengan Hasna seperti apa ...." Pak Aksara malah menyandarkan kepalanya di dinding, kedua kelopak matanya tertutup rapat. "Aku mengantuk."
"Shit ...." desis Mandala, marah. Dia kembali duduk di kursi depanku. Soraya masih betah berdiri, sedang Bu Rosie dengan mulut yang mecucu duduk di sebelah Mandala.
Aku merapatkan kemeja milik Pak Aksara--untuk menghalau udara dingin, ada aroma lavender yang lembut menyusup di indra penciuman. Ketiga pasang mata di depanku, menatap dengan ekspresi yang berbeda. Jelas, mereka terganggu dengan keberadaan Pak Aksara.
Ketika hari mulai terang, Pak Aksara beranjak dari duduknya. Tanpa bicara dia melangkahkan kedua kakinya. Berbicara sebentar dengan satpam, lalu sosoknya hilang dari pandangan.
Aku ingin melihat kondisi Amanda, namun untuk saat ini dokter tidak mengizinkan keluarga masuk ke ruang ICU. Aku hanya ingin melihatnya saja.
"Minumlah ...."
Aku mendongak, Pak Aksara mengulurkan satu cup teh panas. "Terima kasih."
"Aku juga beli roti dan biskuit." Pak Aksara menaruh kantong kresek putih di kursi sebelahku. "Aku harus pulang. Apa kau membutuhkan sesuatu, nanti biar Lenni yang datang ke sini?"
"Saya sudah mengirim pesan pada Lenni."
"Oke, aku pulang dulu," pamit Pak Aksara.
"Kemejanya Pak ...?"
"Pakai saja."
Setelah Pak Aksara meninggalkan area ruang tunggu, Mandala berdiri mendekatiku. "Lelaki itu tidak ada hubungannya dengan Amanda, aku harap kamu bisa memberitahunya untuk tidak datang lagi," katanya kemudian.
"Aku pastikan dia tidak akan datang lagi," sahutku.
Pak Aksara tidak akan datang lagi. Kehadirannya malah memicu keributan. Aku butuh ketenangan, menghadapi kondisi Amanda yang berjuang antara hidup dan mati. Aku sedang tidak ada tenaga untuk berdebat.
***
Aku berdiri di sisi ranjang, mengusap pipi Amanda. Dia tengah tertidur pulas, genap dua minggu dia dirawat di rumah sakit. Setelah sempat koma satu hari, dan menjalani operasi di bahu kirinya yang patah--kondisinya sudah membaik. Dua hari lagi dokter mengizinkan pulang.
Selama menjaga Amanda di rumah sakit, aku selalu bersitegang dengan Bu Rosie. Perempuan itu hanya mengizinkan aku merawat Amanda pada siang sampai sore hari. Celotehannya yang bagai angin ribut, sering aku abaikan. Soraya sudah jarang terlihat mengunjungi Amanda.
Wajah sebelah kiri Amanda rusak, ada dua luka besar di pipi, membentuk garis panjang. Juga di dagu dan bagian kening. Mengetahui kondisi mukanya, Amanda berubah murung, lebih banyak diam. Diajak bicara kadang tidak menyahut. Aku selalu membesarkan hati Amanda, wajahnya bisa pulih dengan operasi plastik.
"Eh, Hasna, jika Amanda sudah diperbolehkan pulang, kamu tidak perlu datang ke rumahku. Sudah ada perawat untuk menjaga Amanda," ucap Bu Rosie. "Aku eneg lihat mukamu."
"Aku tetap akan datang," sahutku.
"Aku tidak akan membukakan pintu." Bu Rosie sangat geram.
"Mandala yang akan membukakan pintu untukku."
"Kamu memanfaatkan perasaan Mandala."
"Ya, begitulah ...." ujarku sembari berjalan keluar kamar rawat inap.
Di selasar rumah sakit aku berpapasan dengan Soraya. Akhirnya dia muncul setelah tiga hari.
"Bagaimana kondisi Amanda?" tanya Soraya. "Aku baru pulang syuting iklan."
"Lebih baik," jawabku.
"Kasihan Amanda harus kehilangan kontrak dengan beberapa iklan, dia juga kehilangan peran utama di sinetron," kata Soraya seraya melepas kacamata hitamnya.
"Lebih baik fokus pada pemulihan Amanda, tidak perlu mengungkit masalah iklan atau apalah." Aku menghela nafas.
"Setidaknya ada keuntungan Amanda mengalami kecelakaan, Mandala menunda gugatan perceraian dan dia kembali ke rumah."
Seandainya bukan di tempat umum, seandainya ada satu botol sambal, pasti sudah kubekap mulut comberan milik Soraya.
"Setelah Garneta dibuang, apa sekarang kau menjadi penghangat Aksara di malam hari?" ejek Soraya.
Aku ingin sekali menerkam Soraya. Alih-alih melakukannya aku memilih meninggalkan lawan bicaraku yang sudah gila.
Ada tempat dan waktu yang tepat untuk membungkam mulut Soraya. Tidak sekarang.
***
"Kamu agak kurusan," ujar Lenni. "Wajahmu kuyu, istirahatlah. Biar aku membereskan cucian."
"Tidak, Lenni. Pekerjaan ini tanggung jawabku," tolakku.
"Tapi, sudah malam, istirahatlah ...." bujuk Lenni. "Jangan sampai kamu jatuh sakit."
"Bik Yuni tidak kembali ke sini lagi?"
"Iya, tadi dia sudah memberitahu Pak Aksara lewat telepon. Ini gaji pertamamu, Hasna."
Aku menerima amplop cokelat yang diulurkan Lenni.
"Aku tidur duluan ya ...." Lenni beranjak dari ruang cuci.
Kenapa jumlah gaji yang kuterima utuh? Harusnya dipotong, karena aku izin satu minggu karena Amanda kecelakaan. Aku menyusul Lenni ke kamar tidur.
"Lenni, gajiku kok utuh satu bulan?"
"Maksudmu?"
"Aku pernah satu minggu tidak bekerja, harusnya kan dipotong ...."
"Tanya saja sama Pak bos," sahut Lenni, menarik selimut bersiap ke pulau mimpi.
"Pak bos sudah pulang?"
"Ada tuh ... di ruang kerja, baru saja aku mengantar kopi."
Tubuhku berbalik, berjalan cepat menaiki anak tangga. Tanganku mengetuk pintu, tidak ada sahutan dari dalam.
"Pak Aksara," panggilku, pelan.
Aku mengetuk sekali lagi, masih sunyi. Aku memberanikan diri masuk ke dalam ruang kerja. Kepalaku melongok duluan melewati pintu. Ternyata Pak Aksara tertidur di sofa, laptop masih menyala.
"Tidur rupanya ... dia meringkuk seperti bayi ...." gumamku. Aku melangkah pelan, mengambil selimut yang jatuh di lantai. Kemudian menyelimuti lelaki yang tidur pulas itu. "Besok saja aku menanyakan perihal gaji ...."
"Kalau ngomong yang keras, biar aku bisa mendengar."
Aku melonjak kaget, mundur dua langkah. "Pak Aksara tidak tidur?"
"Belum tidur tepatnya. Kamu mau tanya apa?" Masih dengan posisi meringkuk Pak Aksara bertanya.
"Oh, eh, begini ... Pak ... gaji saya kok utuh satu bulan?"
"Terus kamu maunya gaji satu tahun?"
"Bu ... bukan, Pak. Saya 'kan pernah satu minggu tidak kerja, harusnya gaji dipotong," terangku, gugup.
"Aku tidak pernah memotong gaji karyawan yang izin karena sakit atau keperluan mendesak," sahut Pak Aksara lalu dia menguap panjang.
"O, begitu ya ...."
"Ada masalah?"
"Tentu saja tidak, Pak. Maaf mengganggu, saya permisi dulu."
Mendadak kepalaku terasa pusing, ruangan ini terasa berputar. Tanganku dengan cepat memegang kursi. Aku tidak sanggup berdiri.
"Hasna, ada apa?"
"Saya ... baik ... baik saja ...." Aku mencoba berjalan, tetapi oleng dan jatuh di lantai.
Pak Aksara membantuku berdiri. "Badanmu panas. Kamu sedang tidak baik-baik saja."
"Saya harus kembali ke kamar ...." Aku mendorong pelan tubuh Pak Aksara. "Saya bisa jalan sendiri."
Tangan Pak Aksara membopong tubuhku, membaringkannya di sofa tempat tadi dia meringkuk. "Tidurlah di sini, jika aku membantumu berjalan atau menggendongmu kembali ke kamar bawah, bisa-bisa kita berdua jatuh di tangga."
Aku tidak mendebat, rasanya ingin pingsan. Pusing sekali. Sekarang aku yang meringkuk di balik selimut. Tubuhku terasa lunglai. Setelah minum obat pereda sakit kepala yang diberikan Pak Aksara, aku terlelap. Namun, di tengah-tengah tidur aku merasakan ada yang menyentuh dahiku. Tidak hanya sekali.
Suara nyanyian burung membangunkan diriku dari lelap. Aku masih merasa lemah. Aku memiringkan tubuh, tampak Pak Aksara tidur di kursi. Rambutnya menjuntai menutupi kening.
"Hasna, kamu tidur di sini?" Lenni muncul diikuti Edlyn.
"Wah, Bu Hasna dan Papa kencan, ya? Kalian berdua pacaran?" tanya Edlyn, ngawur.
"Bukan begitu ...." Aku lalu menjelaskan bahwa semalam aku sempat pusing dan ingin pingsan.
"So sweet. Jadi semalaman Papa menjaga Bu Hasna? Uluh-uluh kayak di film-film romantis." Edlyn tertawa kecil.
"Aku pikir kamu menghilang ke mana ...."
"Heh, berisik kalian berdua!" Pak Aksara bangun, mengangkat kedua tangannya ke atas--meregangkan otot. "Lenni, tolong buatkan aku kopi, aku harus segera berangkat."
"Baik, Pak," sahut Lenni.
"Hasna, kamu istirahat total. Mengerti?!" Pak Aksara melangkah keluar.
Apa semalam yang menyentuh dahiku Pak Aksara? Dia menjaga diriku semalaman?
Aku menghela nafas panjang, menghalau pikiran yang bergerilya. Tidak, hatiku tidak boleh menghangat.
***
Karena kondisiku yang sakit, aku tidak bisa mendampingi Amanda pulang dari rumah sakit. Sore ini aku berniat menjenguk Amanda.
"Kamu benaran sudah sehat?" tanya Lenni.
"Sudah empat hari istirahat total sesuai perintah Pak bos, aku sudah merasa baikan dan sehat," jawabku.
"Pak bos rasa kekasih. Uhuk," goda Lenni.
Aku memutar kedua bola mata. "Please, deh ... jangan ngawur."
"Bu Hasna, mau ke mana?" tanya Edlyn.
"Menjenguk Amanda."
"Boleh ikut?"
"Boleh."
Aku menolak ketika Edlyn menawarkan memakai mobil milik Pak bos, aku memilih naik taksi online. Perjalanan lumayan lancar, jalanan padat tapi tidak sampai terjadi penumpukan.
"Aku dengar kamu sakit, sudah sehat?" tanya Mandala setelah membuka pintu.
"Iya, sudah sehat." Aku mengekori langkah Mandala menuju kamar Amanda. Edlyn berjalan di sampingku.
"Apa kabar, Manda?" sapaku pada Amanda yang sedang duduk di sisi tempat tidur.
Amanda tidak menoleh maupun merespon.
"Aku akan mengambil minum dan kudapan untuk kalian," ujar Mandala.
"Maaf, selama empat hari mama tidak menjenguk kamu." Aku berjalan mendekati Amanda.
"Mama, pulang saja," kata Amanda. "Aku tidak butuh Mama untuk merawatku."
"Amanda?"
"Pasti Mama menyumpahi aku sehingga aku mengalami kecelakaan. Dan kehilangan kontrak main sinetron. Semua gara-gara Mama!"
"Mama tidak pernah menyumpahi kamu, Manda," ucapku.
"Ternyata setelah lu kecelakaan, lu nggak berubah Manda," kata Edlyn.
"Lu ke sini cuma mau liat muka gue yang rusak bukan?" cecar Amanda.
"Eh, lu nggak jadi mati karena Tuhan memberikan kesempatan kedua untuk minta maaf pada Nyokap lu!" Suara Edlyn meninggi. "Kalo kondisi lu nggak lemah, udah gue hajar."
"Pergi kalian berdua dari sini!" usir Amanda.
"Manda ...."
"Aku bilang, PERGI!"
Edlyn menarik lenganku. "Bu Hasna, sebaiknya kita pergi. Ibu bisa kembali lagi jika suasana hati Amanda membaik."
"Jangan pernah menjengukku lagi!" seru Amanda.
"Ingat Manda, surga berada di bawah telapak kaki Ibu. Udah berkali-kali lu nyakitin Mama lu, jangan sampai lu nyesel ...."
"Edlyn, lu jangan sok menasehati. Gue nggak butuh."
"Hati lu benar-benar sudah menghitam, Manda ... berkubang dalam kegelapan setan."

Komentar Buku (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru