logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Soto Lamongan Spesial

Putaran jarum jam membentuk sudut lancip di antara angka sepuluh dan dua belas. Raja siang yang mulai beranjak naik, tak serta merta menciptakan aura panas. Beberapa saat yang lalu, sinar mentari tersenyum cerah menyapa bumi, sebelum gumpalan-gumpalan awan menutupi dengan warna abu-abu pekatnya.
Di sela-sela kesibukan menyimpan nomor togel, terdengar suara panggilan, berulang-ulang meneriakkan nama 'Bu RT', Aruni yang sudah duduk di bangku istimewa, segera menggelindingkan roda-roda, menuju ruang tamu.
𝘌𝘩, 𝘡𝘦𝘳𝘯𝘺𝘒𝘡𝘒, 𝘐𝘣𝘢𝘬 𝘴𝘢π˜₯𝘒𝘩 𝘒π˜₯𝘒 π˜₯π˜ͺ π˜₯𝘦𝘱𝘒𝘯.
Aruni hendak memutar kursinya lagi ke kamar, tetapi begitu tahu siapa yang datang, ia mengurungkan niatnya.
Seraut wajah ceria muncul ketika pintu telah terbuka--Bulek Ningrum--kedua tangannya riweh membawa makanan. Menggunakan baki, Bulek Ningrum membawa sepiring nasi munjung dan semangkuk soto ayam yang masih panas. Uapnya mengepul di atas mangkuk. Aroma gurih merasuki indera penciuman, menggoda indera pengecap.
"Selamat pagi, Bu RT yang cantik, baik hati, tidak sombong, dan suka menabung," tegur Bulek Ningrum.
"Ini sudah menjelang siang, tahu," sahut Bu Wibowo jutek.
"Maaf, Pak RT-nya ada, Bu? Tiba-tiba kok kangen sih yaa. Hihi."
"Pak RT-nya sedang tidak ada di tempat, jika tidak ada kepentingan lain, silakan pulang lagi," usir Bu Wibowo blak-blakan.
"Hehe … maap ... maap, cuma canda, kok, Bu," sahut Bulek Ningrum.
"Hehe … Ini ada sedikit sarapan, buat, Bu RT," lanjutnya terdengar tulus, dengan senyum mengembang.
"Tumben … baik?" Bu Wibowo mencebikkan bibir, tetapi ekor matanya melirik semangkok soto kesukaannya.
"Monggo, Bu RT." Mengulurkan tangan yang memegang baki. Bu Wibowo pun memasang wajah terpaksa, menerima makanan dari Bulek Ningrum. Padahal, aslinya sudah tidak sabar menyendok dan memasukkan makanan tersebut ke mulut.
"Silakan dinikmati." Bulek Ningrum terlihat sangat bahagia, wajahnya merona, bibir tak luput dari senyum. Mungkin, memang seperti itu, perasaan seseorang ketika berbagi rezeki pada orang lain. Rasanya seperti meraup kebahagiaan yang hakiki.
"Oh iya, bolehkah saya duduk di sini sejenak? Sinta sedang sekolah. Saya malas, di rumah sendirian. Boleh yaa, boleh yaa," bujuk Bulek Ningrum mengiba, suara manjanya kumat.
"Iyo wis , gapopo. Duduk aja di situ." Bu Wibowo menunjuk sebuah sofa. Bulek Ningrum yang diberi izin, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung duduk, dengan sangat manis.
"Dimakan di sini, ndak apa-apa loh, Bu. Sotonya ndak akan kuminta lagi kok. Hehe."
"Bisa saja ni, Bulek Ningrum," ujar Bu Wibowo. Meskipun umurnya lebih tua ketimbang Bulek Ningrum, tetapi ia tetap memanggilnya--Bulek--untuk memberi contoh pada anak-anaknya.
Semangkuk Soto tersaji di atas meja, kuah santan sedikit berwarna kuning, bertabur cambah dan daun bawang. Telur rebus yang dibelah menjadi dua. Irisan daging ayam yang tipis, tetapi lebar. Keripik kentang sebagai pelengkap. Jangan lupakan, tambahan koyanya. Koya terbuat dari kerupuk udang yang ditumbuk halus dengan bawang putih goreng. Tambahan koya ini akan menambah cita rasa soto semakin gurih. Kepulan uap panasnya sungguh menggoda.
Aruni bersama ibunya tengah menikmati soto khas Lamongan, buatan Bulek Ningrum, di ruang tamu. Abaikan tempat makan yang tidak sesuai, abaikan jika tadi, sebenarnya sudah sarapan pagi, karena sotonya sungguh enak sekali. Sementara si pembuat, duduk di hadapan mereka dengan membusungkan dada bangga. Masakannya telah mendapat apresiasi bagus.
Kuah panas dan super pedas mengoyak suhu tubuh, bulir-bulir keringat mulai tercipta. Bergelayut pada kening, sebelum akhirnya tidak bisa mempertahankan diri dan mengalir melewati pipi.
Makanan sudah hampir tandas, tinggal beberapa sendok lagi, ketika Bulek Ningrum mulai bersuara. Ibu beranak satu yang biasanya suka cerewet itu pasti sudah menahan suaranya sejak tadi. Terlihat dengan sangat antusiasnya memulai sebuah kalimat.
"Ehmmm … ehmmm." Dimulai dari sebuah deheman yang mencurigakan.
"Hmm, ngomong-ngomong pagi ini, sangat cerah yaa …." Berbasa-basi.
"Oh iya, boleh cerita sedikit gak?" tanya Bulek Ningrum. Meski tidak mendapatkan tanggapan, ia tetap akan melanjutkan ceritanya.
"Jadi, tadi pagi tu, ada ayam tetangga yang masuk ke dapur saya. Bukan hanya buang kotoran di lantai, tapi juga mengobrak-abrik peralatan dapur. Piring saya sampai pecah satu loh. Bayangkan, Bu RT, betapa murkanya saya? Iya ka, Bu? Jika, Bu Rt ada di posisi saya, pasti akan marah juga kan?" Entah Bulek Ningrum membuat pertanyaan jebakan atau sedang ingin melawak, karena pertanyaannya, ia jawab-jawab sendiri.
"Haa?" Bu Wibowo mengerutkan alis, mulai tertarik mendengarkan cerita selanjutnya.
"Saya yang sedang marah, akhirnya mengambil pisau. Ayam jago dengan warna dasar bulu abu-abu yang dilengkapi dengan bulu rawis merah itu pun, akhirnya saya cincang. Tidak lupa, ketika menyembelihnya, saya menyebut nama Tuhan--Bissmillah--in sya Allah, ayam itu mati dengan cara khusnul khotimah. Nah, jadilah ayam itu tadi, menjadi soto lamongan yang baru saja kalian nikmati dengan suka cita," terang Bulek Ningrum dengan bangga.
Glek!
Nasi yang sudah dikunyah Aruni, terasa sulit, masuk ke kerongkongan. butiran nasi yang sebagian telah hancur itu seolah-olah berubah menjadi gelondongan batu besar.
"Apa?" Uhuk, uhuk, puffh." kalimat Bulek Ningrum membuat Bu Wibowo tersedak. Nasi yang baru saja dimasukkannya ke mulut, muncrat ke segala arah. Ada yang jatuh ke meja, ada yang mencelat ke lantai juga.
"Maapkan saya ya Bu RT, hehe, 𝘱𝘦𝘒𝘀𝘦," ujar Bulek Ningrum sambil mengangkat dua jari--telunjuk dan jari tengah.
"Ahaha, ahahaaa," tawa Bulek Ningrum sudah membludak, tidak mampu ditahan lagi.
Bu Wibowo yang sudah berhasil mengontrol batuknya, segera menggapai benda apa saja yang bisa dijangkaunya. Sebuah kemoceng berhasil ia pegang, dengan kekuatan amarah, ia lemparkan benda tersebut ke arah Bulek Ningrum. Sasaran yang dituju, rupanya sudah mengantisipasi perlakuan tersebut. Manuver, Bulek Ningrum berpindah tempat dan segera kabur dari serangan musuh.
"Ahaha … ahahah …." tawa Bulek Ningrum, lamat-lamat masih terdengar, sebelum bayangan punggungnya ditelan pintu rumahnya.
Tertinggal Bu Wibowo tertunduk lemas, ayam jago kesayangannya, yang bisa dibilang harganya sangat mahal, telah dibunuh dengan tega, oleh seseorang, yang tak bertanggung jawab. Lebih jahatnya lagi, si pemilik disuruh merasakan mantabnya soto Lamongan dari daging ayam tersebut. Huaaa ...
"Sudah, Bu, sudah, diikhlasin saja. Mungkin memang cukup sampai di sini, takdir kita untuk hidup bersama si, Blorok. Semoga, Blorok bisa tenang di Sisi-Nya, aamiin." Aruni memberi asupan keikhlasan terhadap ibunya. Hatinya ingin terbahak, tapi ditekannya rapat-rapat tawa itu, jika tak ingin melihat ibunya gantung diri di bawah pohon tomat.
"Terkadang kita memang harus kehilangan sesuatu untuk menghadirkan sesuatu yang lebih berharga lagi," imbuh Aruni, sambil menepuk-nepuk punggung Bu Wibowo, yang masih duduk lemas di sofa.
Kehidupan memang seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Terkadang tegar, terkadang juga rapuh. Jika tadi pagi Bu Wibowo yang menyemangati putrinya, sekarang, biarlah Aruni yang menenangkan Ibunya. Itulah fungsi keluarga, saling melengkapi.
Bersambung

Komentar Buku (279)

  • avatar
    ARYABSK

    bagus

    3d

    Β Β 0
  • avatar
    Lince rumansaraYane

    wah dari cerita ini kita dapat baaanyak pelajaran bahwa kita harus percaya diri, dll

    8d

    Β Β 0
  • avatar
    WarniPreh

    daimen

    20/07

    Β Β 0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru