logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5

“Hah?” Vivian masih tidak percaya.
“Si Asher itu sangat bersemangat, biasa, deh, kelebihan glukosa.” cibir Eowyn ke
arah Asher dengan memegang tangan Vivian. “Senang sekali aku berkenalan
denganmu. Mari kita berteman!”
Vivian masih membeku dengan mulut yang menganga.
“Wyn, si Vivian kenapa?” tanya Eomyn.
“Lah?”
“Woi, sudah.” Asher kemudian melepas genggaman tangan Eowyn dan
menyembunyikan Vivian di balik tubuhnya. “Ini anak gak pernah berteman. Jangan
asal pegang gitu, dong.”
“Tuh, Wyn. Jangan agresif kalau jadi perempuan.” Komentar Eomyn yang langsung disambut oleh kembarannya yang mencubit mulutnya.
“Suka benci, deh, kalau Eo yang ngomong.” Eowyn mencubit mulut kakak
kembarnya dengan senyuman kesal.
Vivian mendadak menjadi ketakutan. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar.
Eomyn yang menyadari hal itu langsung menunjuk Vivian. “Wo-woi, si Vivi gemeteran.”
“Ya, ampun, Vii.” Asher membalikan badannya dan kemudian mendudukannya di bangku taman sekolah. Raut wajah Asher terlihat sangat khawatir. “Kamu lemah banget.”
Ha?
Ramirez bersaudara itu seketika langsung menoleh ke arah Asher. Dengan kesal
Eomyn langsung mengorek kepala Asher.
“Yee, si bodoh. Orang yang gak pernah berteman emang kadang suka gitu.” ujar
Eomyn kesal.
Eowyn berjongkok di hadapan Vivian sembari memberikan sebotol air minum. “Vii, jangan takut, ya. Kita gak bermaksud jahat kok, kita beneran mau berteman sama kamu. Kata-kata si bodoh itu jangan dimasukan hati, ya.”
Vivian tidak menjawab. Ia terus menunduk menatap botol air minumnya. Ia menutup
matanya berusaha untuk menenangkan dirinya.
Cukup lama ia menenangkan diri sampai ketika ia mengangkat kepalanya, ia melihat ketiga orang yang ada di hadapannya kebingungan dengan apa yang terjadi.
Vivian kemudian berdiri, ia meremas botol air minumnya. “Ak--” Suaranya tersendat.
“Hah?”
“Hei-hei, dia tidak sedang sakit 'kan?” tanya Eomyn.
Dilihatnya tatapan Asher dan si kembar kepadanya. “Aku Vivian Gr-Grace.” ujarnya
lirih. “Mohon bantuannya!”
Ada keheningan yang menyelimuti mereka sebelum akhirnya ketiganya tertawa
terbahak-bahak.
“Nah, gitu, dong! Semangat seperti ini yang aku sukai!” Puji Eomyn tanpa
menghilangkan tawanya.
“Vii, ngapain, sih, sampai harus berteriak seperti itu? Kau itu lucu sekali, hahaha!”
sambung Eowyn.
“Lucu-lucu. Kau harus lihat ekspresi wajahmu waktu teriak tadi, haha!” timpal Asher juga.
“Eh? Eh? Kok gitu?” Vivian menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia terlalu malu, pipinya memanas.
“Ya, ampun, kau lucu sekali, Vii. Sini kupeluk!” Eowyn yang merasa gemas dengan sikap manis Vivian langsung berlari ke arah Vivian dan memeluknya.
“Baiklah. Pelajaran hari ini sudah dimulai ternyata. Dia sudah bisa mengenalkan
dirinya.” Asher mengambil buku catatannya.
Semenit kemudian mereka duduk bersama. Mereka bertiga memberikan sedikit tips agar Vivian bisa membuka dirinya. Awalnya Vivian meragu, namun ia rasa apa yang mereka ucapkan memang masuk akal.
Diremasnya buku bersampul emas yang selalu ia bawa ke mana-mana. Vivian sadar debaran hati yang ia rasakan bukan karena takut, namun karena ia merasa tidak sabar.
“Setelah ini kau akan mengenalkan dirimu pada teman-teman sekelas.” kata Eomyn.
“Apakah tidak terlalu cepat?” tanya Asher. “Bagaimana jika ia terbujur kaku lalu
pingsan?”
"Kau tidak perlu mengenalkan dirimu kepada banyak orang. Kau hanya perlu
membalas sapaan mereka saja. Aku rasa itu cukup mudah untuk dilakukan.” tambah Eowyn.
“Membalas sapaan itu adalah salah satu hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia pada umumnya. Membalas sapaan itu juga termasuk komunikasi yang baik, lho.” kata Asher menjelaskan.
“Betul. Karena kau sekarang harus belajar berkomunikasi yang baik tidak ada
salahnya kau membalas sapaan mereka. Kau bisa saja menoleh dan tersenyum, atau mungkin balik menyapa.” Eomyn menimpali.
“Sejatinya kau tidak sedang sendirian, kita semua adalah makhluk sosial. Komunikasi yang baik adalah kunci terjalinnya hubungan yang baik pula.” kata Eowyn menambahi. “Begitu komunikasimu baik, orang akan suka padamu, lalu kau akan punya banyak teman.”
Vivian mengangguk mengerti. Ia bisa membayangkannya dengan baik.
“Sudah saatnya kelas dimulai. Yuk, segera ke kelas.” Eowyn mengambil tasnya dan
berjalan terlebih dahulu ke arah kelas mereka. Disusul saudara kembarnya yang terus menjahilinya selama di perjalanan.
“Kau akan menyapa anak-anak sekelas. Bagaimana perasaanmu?” tanya Asher
penasaran.
Vivian memegangi dadanya yang berdebar-debar. Tanpa ia sadari senyuman
mengembang di wajah Vivian. Hal itu seketika membuat Asher tertegun dan
menghentikan langkahnya.
Vivian masuk ke dalam kelas dengan hati-hati. Matanya menyapu seluruh isi ruangan yang terkesan super sibuk. Ada yang mengejakan tugas, sekedar berbincang, ada pula yang sedang bermain game.
Diliriknya si Ramirez bersaudara yang sudah memilih tempat duduknya sendiri.
Tatapan keduanya seperti sedang menguatkan hati Vivian. Namun sayangnya, mendadak nyalinya menciut. Ia menggelengkan kepalanya dan segera menunduk.
Saat ia hendak menaiki tangga untuk ke tempat duduknya, seseorang memanggilnya.
“Vivian?” Vivian mengangkat wajahnya. Seorang gadis berkacamata mendatanginya. “Kau tidak apa-apa?”
“Bagaimana dengan lukamu?” Yang lain
ikut mengerubuni Vivian.
“Kamu yang kuat, ya. Kamu tidak sendirian kok. Kita sekelas bakalan melindungi
kamu.”
“Nih, ada preman juga di kelas kita. Dia lebih jago daripada Sarah dan Helen.”
“Si Kathryn itu, ya, mentang-mentang cantik main pukul aja.”
“Kalau ada apa-apa ngomong ke kita, ya. Kita bantuin sebisa kita, kok.”
“Vivian, maafkan kita yang tidak pernah ngajak kamu ngobrol.”
“Kamu yang sehat-sehat ya, Vii.”
Vivian tertegun, seluruh isi kelasnya menghampiri dirinya. Mereka mengutarakan penyesalan dan juga menyampaikan semangat untuknya. Bahkan ada yang sesekali memeluknya dan mengelus kepalanya.
“Kita semua bisa diandalkan, kok. Yuk, kita berteman!”
Dalam pandangannya ia terus menerus melihat senyuman teman-temannya. Hatinya yang berdebar menjadi menghangat dan pegangan tangan teman-teman sekelasnya membuatnya sadar bahwa ia tidak sendiri lagi. Ke depannya ia tidak akan merasakan pandangan tajam lagi. Ke depannya ia akan terus merasakan kelembutan seperti ini.
“Terima kasih.” Vivian tersenyum.
“Yeey!” sorak seluruh teman-teman sekelasnya. Mereka memeluk Vivian dan mulai menari-nari.
Dari ujung pintu masuk ruang kelas, Asher yang baru datang melihat kehebohan itu.
Ia melihat Vivian yang tertawa bersama dengan teman-teman kelas. Ia melirik si
kembar dan tersenyum ke arah mereka.
Rasanya baru kemarin Asher berteman dengan Vivian. Saat pra ospek, ia bertemu
dengan Vivian yang memiliki penampilan yang memang persis seperti penyihir. Baju
tidak rapi, rambut yang berantakan, wajah yang selalu dingin.
Asher juga teringat bagaimana reaksi Vivian pertama saat ia berusaha menyapa gadis itu. Yup, Vivian langsung membeku. Begitu Asher mencoba untuk mengobrol
dengannya, tentu saja si Vivian membeku. Lalu, saat Asher memanggil namanya, si
Vivian malah pingsan sampai berkeringat ketakutan.
Sekarang coba lihat dia. Vivian sudah jauh berkembang. Vivian telah diterima oleh
teman-teman sekelasnya. Asher tidak perlu khawatir Vivian sendiri lagi seperti dulu.
***
Malamnya, Vivian mencoba membuat catatan di bukunya. Tak lupa ia memberikan stiker- stiker lucu untuk materi yang penting. Ia juga membuka buku yang selalu ia bawa dan baca setiap hari. Di bukanya, sampul emas yang menutupi cover buku itu.
Sekilas buku itu terlihat seperti buku novel atau buku catatan biasa. Namun
sesungguhnya itu adalah buku nonfiksi yang berjudul ‘How to Be Human :
Pendekatan Logis untuk Menjadi Manusia Biasa’. Vivian membelinya di pasar loak
saat ia pertama kali datang di kota ini.
“Aku akan mencoba dari hal paling mudah. Menyapa sudah aku praktekan tadi
siang.” gumam Vivian.
Vivian berhenti sejenak, ia lalu mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh Ramirez
bersaudara dan juga Asher tadi siang. Mereka bertiga mengajarkannya mengenai tiga kata ajaib, yaitu terima kasih, maaf, dan tolong. Menurut mereka, orang yang baik akan selalu mempraktekan tiga kata itu.
“Three magical words.” gumamnya sembari mencari yang ia maksud di daftar isi. Begitu ketemu ia kemudian membuka buku itu dan membacanya.
“Terima kasih, maaf, dan tolong.” gumam Vivian membacanya.
Vivian membacanya dengan hati-hati. Ia kemudian mencatatnya dan ia cocokan
dengan materi yang diberikan oleh Asher dan si kembar. Semuanya cocok dan masuk akal baginya. Sesekali ia tersenyum.
“Aku tadi siang sudah mengucapkan banyak terima kasih, sih. Tidak sesulit itu
ternyata, hehehe.”
Dalam hatinya ia berjanji untuk membiasakan diri mengucapkan tiga kata itu. Kemudian, pandangannya teralihkan kepada sebuah sub bab yang berjudul ‘Meminta maaf itu perihal yang mudah, lalu bagaimana dengan memaafkan?’
Vivian membenarkan duduknya keposisi ternyamannya. Dibacanya bab itu hingga ia benar-benar mengerti.
“Memaafkan orang lain ....” gumamnya pelan. Kemudian mata sayunya semakin
meredup. Diremasnya pena yang ia pegang dengan erat.
***
Pagi itu Kathryn duduk memeluk kakinya sembari menatap jendela luar. Ia menghela napasnya, rasanya tidak ingin ia hidup lagi setelah ia membuat keputusan menjatuhkan dirinya sendiri. Apalagi sekarang posisi votenya telah menurun drastis dan nama baiknya telah tercoreng.
Lidahnya mulai tidak bisa merasakan makanan apapun dan rahangnya terlalu lemas untuk mengunyah. Ini adalah hari ketiga ia tidak menghabiskan makanannya. Sesekali ia mengusap matanya yang mengularkan air mata.
Kathryn mengelap seluruh air matanya saat ia mendengar ketukan pintu. Dari
bayangan, di luar sepertinya teman-temannya sedang menjenguknya. Betapa
bahagianya dirinya, ternyata masih ada yang memikirkannya.
“Hai, Kate.” sapa Eomyn dengan melambaikan tangannya.
Senyuman Kathryn menghilang. Ia tidak mengenal sosok Eomyn yang ada di
hadapannya. “Hai?” Kathryn semakin bingung saat Eowyn masuk dengan membawa buket buah-buahan.
Senyumannya mengembang lagi saat ia melihat sosok Asher masuk ke dalam
ruangannya.
“Asher? Kau datang menemuiku?” tanya Kathryn senang. Wajahnya mendadak
menjadi berseri-seri. Ia tidak menyangka Asher akan menjenguknya.
“Iya. Kami berempat datang menjengukmu.” jawab Asher datar.
“Berempat?”
Eomyn menggaruk kepalanya. Ia kemudian keluar dan menarik tangan Vivian. “Ayo,
Vii. Masuk. Kami sudah menunggumu.”
“Ha-halo ...” sapa Vivian dibalik buket bunga iris putih yang ia bawa.
Katrhyn terhenyak melihatnya, lalu menggertak. “Apa yang kau lakukan di sini?!”

Komentar Buku (22)

  • avatar
    HidayatMuhammad

    bgus

    08/05

      0
  • avatar
    M Rifai

    bagus bnget

    05/04

      0
  • avatar
    RahmaEka

    baguss

    06/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru