logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2

Vivian membeku melihat Kathryn tergeletak tak sadarkan diri dengan darah yang berceceran di mana-mana. Bahkan saat para mahasiswa mulai riuh dan mengerubuni Kathryn, otak Vivian masih berusaha mencerna apa yang telah terjadi.
“Itu Vivian!” Tunjuk salah satu antek Kathryn. “Dia sengaja mendorong Kathryn karena dia tidak terima dengan rumor jelek mengenai dirinya! Dia yang mengajak Kathryn kemari, huhu ... Kate ... mengapa kau tidak mengajak kami bersamamu
kemari? Jangan tinggalkan kami, huuu huu ....”
Salah satu teman Kathryn itu memeluk tubuh Kathryn dan menangis.
“Iya, benar!” Teriak yang satunya. “Dia iri dengan Kathryn yang merupakan primadona kita. Aku sudah pernah mendengar sendiri, ia berniat untuk mencelakai Kathryn.” lanjutnya. “Aku tidak mengerti mengapa kau membahayakan dirimu, Kate? Huuu, huuu ....”
Kapasitas otak Vivian yang menciut itu masih belum mengerti dengan keadaan ini. Seluruh teman-teman seangkatannya mulai berbisik-bisik menyalahkan dirinya. Suaranya sangat menyakitkan. Vivian memegangi kepalanya. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya, ia menjadi pening. Semua suara yang terdengar berputar-putar di kepalanya.
Jangan! Jangan sekarang! pekik Vivian dalam hatinya.
Dengan segera ia berlari meninggalkan kerumuman itu, ia berlari ke arah toilet dan
memuntahkan seluruh makan siangnya. Kemudian ia berakhir duduk berhadapan dengan dosen pembimbing akademiknya dengan Asher yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
Dosen berkumis tebal itu mengetuk-ketukkan jarinya, menatap geram Vivian yang masih saja berekspresi datar. "Apa yang sudah kau lakukan pada Katrhyn?" tanyanya dengan sorot mengancam.
"Tidak ada." Vivian menjawab datar, entah untuk yang ke berapa kali.
"Siapapun bisa melihat jika Katrhyn terluka." Tegas dosen itu. "Dan hanya kau yang ada di sana!"
"Eum, sebenarnya, Pak. Dua teman Kathryn juga ada di sana." potong Asher dengan
santai.
"Diam!" Dosen itu melirik Asher tajam. "Lagipula mengapa kau ada di sini? Kembalilah ke kelasmu."
Bukannya menurut, Asher justru menjelaskan. "Pak, Vivian tidak bersalah. Saya melihatnya sendiri. Dia adalah korban pembullyan Kathryn."
"Pembullyan hanyalah hal kecil dibandingkan dengan kecelakaan itu."
"Kecil?!" Asher berseru tak terima. Sementara Vivian masih tenang, memerhatikan mahasiswa dan dosen itu bergantian dengan wajah datarnya yang khas. "Ayolah, Pak. Ini tidak masuk akal." Asher bersikeras. "Bagaimana Bapak bisa menuduh Vivian seenaknya begini?"
"Saya sudah mendengar rumor menyeramkan mengenai Vivian." jawab si dosen. "Sikap aneh Vivian mungkin ada hubungannya dengan kecelakaan Katrhyn."
Asher memutar bola mata jengah. "Vivian hanya kesulitan berkomunikasi saja, Pak!"
"Cukup!" potong dosen itu dengan mendobrak mejanya. Hal itu sukses mengagetkan seluruh isi ruangan. Tak lagi memedulikan Asher, dosen pembimbing itu beralih menatap Vivian. "Jadi, apa yang sebenarnya kau lakukan pada Kathryn?"
“Tidak ada.”
“Mengakulah.” kata Dosen itu lagi. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Vivian. Mencoba mengintimidasi mahasiswi itu, tapi Vivian tidak menunjukan tanda-tanda ketakutan. “Atau kami mengeluarkanmu dari kampus.”
"Pak, hukuman itu terlalu berat!" Bela Asher.
"Diamlah, Tuan Konstanza." Desis sang dosen, ia kembali menatap Vivian. "Bagaimana?"
"Bukan saya pelakunya." jawab Vivian datar dan tenang.
"Apa kalian punya bukti?" Pertanyaan itu membuat keduanya terdiam. Si dosen menghela napas. "Baiklah, begini saja. Saya beri kalian waktu satu minggu untuk membuktikan bahwa Vivian tidak bersalah. Ingat, hanya satu minggu."
***
"Ah, bagaimana kau masih bisa bersikap setenang itu padahal kau sedang menghadapi masalah besar?" Asher berkata tak habis pikir, telunjuknya gemas menunjuk-nunjuk wajah Vivian yang tetap datar setelah keluar dari kantor DPA.
"Padahal aku yang mendapat masalah, kenapa kau yang serepot ini?" Vivian mendengus. "Memangnya kau ibuku?"
Asher menoleh. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Selama ia menempel dengan
Vivian ia tidak pernah melihat Vivian mendengus ketika beradu argumen dengannya. Biasanya gadis di hadapannya ini selalu saja memasang wajah datar tanpa ekspresi dan selalu tidak menanggapi segala ucapannya. Ini adalah hal yang tidak biasa.
"Y-ya ....” Asher menelan ludahnya. Ia harus berhati-hati dengan ucapannya. “Karena aku tidak mau jika kau dikeluarkan!" celetuk Asher kesal.
"Apa?" Vivian mencoba memastikan pendengarannya lantaran Asher berbicara terlalu
cepat. Tapi Asher langsung menutup mulutnya rapat-rapat. “Memangnya kenapa jika aku
dikeluarkan?”
Alih-alih menjawab ucapan Vivian, Asher menggelengkan kepalanya dan berkata. "Daripada memikirkan hal yang tidak perlu begitu, mengapa tak kau pikirkan cara untuk membersihkan namamu? Bukan kau pelakunya!"
"Tahu apa kau memangnya?" Vivian menguap malas.
Rasa ingin marah pada diri Asher memuncak.
Vivian kembali menyebalkan seperti biasanya. "Bagaimana kau masih bisa menguap padahal kau sedang menghadapi masalah yang rumit, dasar bodoh?!"
Vivian melirik Asher datar. “Mengapa aku harus mengeluarkan banyak tenagaku untuk membersihkan namaku? Seluruh orang sudah tahu kalau akulah pelakunya. Mengapa juga aku harus mengungkap apa yang mereka lakukan padaku? Tidak akan ada yang peduli denganku. Mengapa aku harus repot-repot menunjukan bahwa aku tidak bersalah? Ending-nya aku akan tetap dikeluarkan.” Tukas Vivian dengan nada
dingin.
Asher mengerjap-ngerjapkan matanya lagi. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Meskipun Vivian mengucapkannya dengan nada dingin seolah tidak perduli, mengapa ia bisa merasakan kesedihan pada ucapannya?
“Kau–!”
“Bisa gak, sih, kau tidak berteriak di telingaku?” Vivian mengorek telinganya dengan sebal.
"Tidak!" Pekik Asher di telinga Vivian dengan sengaja.
Ada keheningan di antara mereka berdua saat mereka berjalan menyusuri koridor kampus. Berbanding terbalik dengan Vivian yang merasa biasa-biasa saja dan terkesan masa bodoh dengan kasusnya, Asher justru sibuk berpikir keras. Tangannya ditempelkan di dagu, sesekali ia bergumam sendiri.
"Apa yang kau lakukan di tempat kejadian sebelum kecelakaan itu terjadi?" tanya Asher.
"Mendengarkan keluh kesah mereka?" jawab Vivian ringan dengan nada mengambang seolah-olah ia sedang bertanya kepada Asher. “Membiarkan mereka membullyku, mungkin."
Asher mendelik, tapi kemudian menggelengkan kepala kembali fokus. "Terus?"
"Entahlah." Vivian menggelengkan kepalanya.
"Ayolah, bagaimana bisa kau melupakannya?"
Vivian mengangkat kedua bahu.
"Ini gawat," Asher menghentikan langkah, baru sadar bahwa Vivian telah menjadi pusat perhatian seisi kampus. Apalagi banyak yang secara terang-terangan menggunjing Vivian. "Kau mendapatkan rumor buruk."
"Ya, sudah, jangan diperjelas lagi, dong." Tambah Vivian kesal. Sebenarnya Vivian sudah tahu jika akhirnya akan sama saja seperti ini. Padahal tadi dia sudah melupakannya sesaat.
Asher menatap Vivian dengan sorot prihatin. "Vivian, sepertinya kau harus segera memperbaiki cara bicaramu."
"Apa yang salah dari cara bicaraku?"
"Ekspresimu itu bisa membuat orang lain tidak menyukaimu."
Vivian menghela napasnya.
Asher melirik Vivian sengit. "Ya, ampun. Kenapa aku mau-mau saja menolong gadis jelek, menyebalkan dan tidak sopan sepertimu?"
"Aku tidak pernah mengharapkan bantuanmu." balas Vivian datar.
"Baiklah, sudah cukup pertengkaran kecil ini. Aku sudah menemukan cara untuk menyelesaikan situasi menyebalkan ini." ucap Asher seraya menarik pergelangan tangan Vivian menuju lobi kampus.
Vivian hanya memerhatikan Asher yang bolak-balik mengambil kursi dan meja, menyusunnya di sudut lobi. "Padahal kau bisa pergi saja dariku." Gumam Vivian.
Namun tentu saja Asher tak mendengarkannya. Setelah menarik salah satu mahasiswa
secara paksa, ia duduk di hadapan mahasiswa itu, mereka hanya dihalangi meja.
"Kau tadi berada di sini saat kecelakaan 'kan?" tanya Asher, seperti polisi yang sedang melakukan intrograsi.
Baiklah, sekarang Vivian mengerti apa yang sedang ia lakukan. Namun bukannya memandang keren, Vivian justru memutar bola mata bosan.
Laki-laki yang ditanya mengangguk.
"Apa kau bisa menceritakan padaku apa yang terjadi?"
"Cewek aneh itu mendorong Kathryn hingga jatuh pingsan." jawab Mahasiswa itu
seraya menunjuk Vivian.
Asher lantas menampar mulutnya pelan. "Aku tahu kau berbohong."
"Ah, kau membosankan." cibir pemuda itu seraya berdiri meninggalkan Asher dan Vivian.
Asher tidak menyerah, ia mencari mangsa lain di sekitarnya dan kembali ke kursi, kali ini dengan seorang mahasiswi berpenampilan tomboy. "Bisa kau ceritakan padaku mengenai kecelakaan Kathryn?" tanya Asher serius.
"Hah?" Gadis yang ditanya mendelik. "Aku baru saja keluar dari taksi dan diseret ke sini untuk ditanyai hal yang bahkan tidak kuketahui Enyahlah!"
Asher meneguk ludah, membiarkan saja gadis tomboy itu pergi dari hadapannya.
"Kau tahu, itu sama sekali tidak berguna?" Vivian akhirnya bersuara.
Asher berdecak. "Bisakah kau mendukungku dan membelikanku minum saja?" Asher ingin melanjutkan kegiatannya, namun tanpa sengaja ia melihat Vivian tersenyum. Itu sukes membuatnya terpaku.
Sadar sedang diperhatikan, Vivian cepat-cepat kembali memasang wajah datar seraya bertanya gugup. "Apa lihat-lihat?"
"Tidak ada." jawab Asher santai dengan senyum guyonnya, Vivian hendak memalingkan pandangan jika saja Asher tak bicara lagi. "Tapi, cobalah tetap tersenyum seperti itu." Tak menunggu respons Vivian, Asher kini beralih mencegat mahasiswa cupu tak berdosa yang hendak lewat. Vivian jadi kasihan padanya.
Penyelidikan yang sepintas terlihat seperti hal kurang kerjaan itu berakhir saat jam pelajaran, namun dilanjutkan lagi saat istirahat. Vivian sendiri tak habis pikir, sebenarnya apa yang ada di dalam otak Asher?
Daripada mengikuti Asher yang luntang-lantung di lobi, Vivian memerhatikan setiap sudut lantai satu gedung. Mencari apakah ada kamera CCTV yang tersembunyi di sini, yang bisa menyelamatkannya dari drop out.
"Hai, Asher, boleh minta nomor ponselmu?" tanya seorang mahasiswi berambut pendek. Matanya besar dan cantik, ia duduk di hadapan Asher begitu saja tanpa izin.
Asher memutar bola mata. "Tidak."
"Ayolah," Gadis itu mulai menggoda. "Aku akan mengirimkanmu sesuatu yang bagus. Tapi, bayarannya nomor ponselmu. Bagaimana?"
Melihat tingkah laku gadis itu ternyata bisa membuat Vivian jengah juga. Ia kemudian berjalan ke arah gadis itu. Dibukanya ponselnya. “Aku tidak memiliki nomor ponselnya. Tapi aku memiliki id chatnya. Nomornya 41FR41, catat itu baik-baik.”
Gadis itu tersenyum sembari mencatatnya. “Wow! Ini baru id chat pribadi. Terima kasih!” Gadis itu kemudian berlari meninggalkan keduanya.
Asher mendelik. Ia kemudian memegang lengan Vivian. “Mengapa kau memberikan id chatku?”
“Kau bilang aku tidak boleh keluar dari kampus ini. Aku sudah jengah melihatmu seperti orang bodoh. Dia bilang ia akan memberikanmu sesuatu yang bagus, bukan?”
“Lalu kau percaya?”
Ting!
Asher mengecek ponselnya. “Ini ....” Suaranya tercekat.

Komentar Buku (22)

  • avatar
    HidayatMuhammad

    bgus

    08/05

      0
  • avatar
    M Rifai

    bagus bnget

    05/04

      0
  • avatar
    RahmaEka

    baguss

    06/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru