logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

The Road to Death

The Road to Death

Hestia Beng


Bab 1

Sebuah teriakan menggema dalam kegelapan malam telah melahirkan seekor monster
kosong tak berperasaan. Ketika jarum-jarum pendosa mulai bertebaran dan do'a dari
orang suci mulai terdengar, saat itu aku memaksa tubuh ini untuk menari dalam
menghadapi perasaan ngeri atas ketidaktahuan.
Kemudian, bintang jatuh memberikan tanda bahwa manusia berlari kepada Tuhan ketika tidak ada lagi alasan ditemukan. Aku kembali mengerang dalam keputusasaan.
"Apakah malam sedang menyembunyikan siang? Apakah setiap keputusan yang telah dibuat adalah budak dari takdir? Apakah kebencian adalah penolakan dari cinta? Apakah kehidupan adalah kematian yang tertunda?”
Malam itu aku terduduk lesu di teras belakang rumahku. Aku mencoba untuk mengatur napasku yang entah sejak kapan menjadi sesak dan tidak beraturan. Kulihat kedua tanganku.
Menjadi putri bungsu dari keluarga gila bukanlah hal yang baik yang harus kalian coba. Salah satu pertanyaanku ketika mereka mengumumkan bahwa Firman Tuhan telah menjelma menjadi diriku adalah, “Mengapa Tuhan senang sekali melihat umatnya tersiksa?”
Mereka bilang, Firman Tuhan harus diagungkan dan disimpan dengan penuh kehati-
hatian. Mereka bilang, Firman Tuhan harus dijalankan dengan rasa penuh suka cinta
dan ikhlas. Mereka bilang, Firman Tuhan harus disucikan bersama dengan api penyucian.
Aku bilang, itu omong kosong.
Setelah aku melihat saudara kembarku–Victor–terbakar habis dalam api penyucian, Pendeta memaksaku untuk memakan habis persembahan atas tubuh yang ia korbankan. Aku jadi tidak percaya lagi kepada Tuhan.
Dan sekarang, Tuhan telah memilihku untuk menjadi salah satu umatnya yang harus ia siksa. Ketika aku menolak dengan tegas, mereka mulai memukulku. Mereka menyebutnya hukuman dari Tuhan. Bukankah itu sebuah premis tolol untuk menjaga manusia agar tidak berpaling?
Kuletakan sekop yang telah membantuku selama beberapa jam ini untuk membuat lubang. Kemudian, tanpa basa-basi aku segera menyeret bungkusan kain putih besar dari dalam rumah, kutarik dan kumasukan ke dalam lubang itu. Kuletakan foto keluarga yang telah lama menggantung di dinding ruang tamu rumah.
Kemudian, aku mulai menutupinya dengan tanah.
Aku kembali duduk di depan gundukan tanah itu. Kuletakan bunga mawar hitam di atasnya. Kucoba untuk menghirup udara, aku bisa mencium bau gas bocor yang cukup menyengat. Setelah aku mengemasi seluruh barang-barangku, kunyalakan korek api kesayangan ayahku dan berkata. “Adios. Aku akan mencari Tuhanku sendiri.”
Kulempar korek itu.
Malam itu jalan keluar untukku telah diterangi oleh cahaya dari kobaran api yang melahap habis rumahku.
Rest in peace, Vivian Harrice. Selamat datang, Vivian Grace.
***
“HAH!”
Ia terbangun dari tidurnya. Mata emasnya menyapu seluruh inchi kamarnya. Dilihatnya jendela kamarnya yang entah sejak kapan telah terbuka sehingga membiarkan cahaya subuh menerobos masuk ke kamar. Dengan tubuh yang tidak bisa dikendalikan lagi, ia mencoba untuk meraih gelas yang ada di atas meja di sebelah
ranjangnya, air yang ia minum sukses membasahi seluruh kerongkongannya. Ia berdeham sembari memegangi tenggorokannya. Oke, masih kering.
‘KRIINGG!!’
Ia terperanjat. Alarmnya berbunyi, ini sudah ketiga kalinya ia terbangun mendahului alarm ponselnya. Ia mengerang sebal sembari mematikan suaranya. Kemudian, ia beranjak dari ranjangnya dan menarik handuknya. Tak lupa setelah ia melirik kalender, ia tersenyum saat ia melihat angka ke-23 yang telah ia gambari berbagai macam hal dan ia tulis ‘Last Day Ospek Kampus’.
***
“Hei, Anak Muda.” ujar seorang pria setengah baya bertubuh besar dengan membawa
tas besar di pundaknya.
Vivian mengalihkan padangannya dari buku yang ia baca.
“Berdirilah.” Pria itu berucap dengan ekspresi yang tidak ramah.
Vivian menyipitkan matanya, dilihat dari caranya berbicara dan keringat yang ada di keningnya, sepertinya pria itu kelelahan, ia juga melirik seluruh tempat yang ada di dalam bus itu. Pbicar
“Kenapa?” tanya Vivian.
“Kenapa kau harus bertanya ‘kenapa’, sih?” Pria itu menaikan nada suaranya. “Aku ini seorang pria tua yang telah berjalan jauh dari rumah sampai ke halte bus, aku sedang lelah, Nona.”
“Lalu?”
“Coba kau perhatikan sekelilingmu, tidak ada tempat duduk yang tersisa. Dan karena
aku kelelahan dan sudah tua ....” Pria itu memberikan penekanan pada kata ‘sudah tua´ yang keluar dari mulutnya, ia terlihat geram. “Jadi, berikan kursimu untukku.”
Vivian menoleh ke arah sampingnya. “Di sini tidak tertulis kursi prioritas,” ujarnya tenang. “Kursi prioritas ada di sebelah sana. Sebaiknya kau minta kursi prioritas pada kakak yang ada di sebelah sana.” lanjut Vivian dengan menunjuk seseorang yang duduk di kursi prioritas.
Si Pria mendengus sinis. “Aduuuh ... aduuh ... ada anak muda yang mencoba untuk mengajariku di mana dan bagaimana aku harus mendapatkan tempat duduk. Apa yang terjadi saat ini? Hei, katakanlah, apakah kemajuan teknologi telah membuatmu kehilangan tata krama untuk berhadapan dengan orang tua?” Pria itu sengaja
membuat suara yang cukup keras dengan kata-kata yang terkesan playing victim untuk mendapatkan simpati dari penumpang yang lain. “Di mana-mana yang muda itu menawarkan tempat duduknya jika ada orang tua yang berdiri!"
Vivian melirik sekelilingnya, ia melihat seluruh ekspresi dan pergerakan tubuh para
penumpang bus. “Dari sekian banyak tempat duduk, bukankah kau lebih berhak untuk mengambil kursi prioritas yang sudah di duduki Kakak itu? Mengapa kau bersikeras untuk duduk
di kursiku?”
Pria itu semakin marah, ia mengerang kesal dan menarik lengan Vivian untuk berdiri
dan mendorongnya hingga terjatuh. Seluruh penumpang bus terkejut melihatnya. Pria
itu melempar tas Vivian dan kemudian duduk.
“Lama!” Hardik pria itu. “Dibilang berdiri saja banyak pertanyaan. Menyebalkan!”
Vivian terdiam beberapa saat sebelum ia berdiri dibantu oleh seorang cowok yang terlihat seumuran dengannya. Cowok itu memungut buku dan peralatan Vivian lalu membantu Vivian berdiri, kemudian tetap berdiri di sebelah Vivian.
Ia berdeham sesaat sebelum ia berkata. “Ya, ampun, Nona. Kau berdosa sekali telah membuat seorang pria hamil berdiri terlalu lama. Apakah kau tidak kasihan dengan bayinya? Bagaimana nanti kalau dia merasakan kontraksi lalu melahirkan di sini? Kita, dong, yang kerepotan.”
Sontak sindiran itu langsung membuat seluruh penumpang bus tertawa. Vivian melirik pria yang telah merebut tempat duduknya. Wajah pria itu memerah karena kesal dan sebal. Apalagi setelah mendengar sindirian yang mengatakan jika ia adalah pria hamil. Memang tidak bisa dipungkiri, dari seluruh sudut badannya hanya perut
pria itu yang membesar seperti seseorang yang sedang hamil.
Tetap saja bagi Vivian itu tidak lucu. Ia hanya menelisik cowok yang telah menyelamatkannya itu.
Cowok itu punya rambut yang sewarna pasir, mata biru gelapnya terlihat mengkilat penuh dengan kejahilan. Cowok itu menoleh ke arah Vivian, ia membuat ekspresi ‘ada apa?’.
Vivian memasang wajah datar. Ia lalu membuang mukanya dan menekan tombol untuk berhenti seraya keluar dari bus itu.
***
“Vivian Grace, bukan?” ujar sebuah suara yang langsung membuat Vivian terkejut.
Siang itu saat pengenalan daerah jurusan selesai, Vivian memutuskan untuk memakan makan siangnya sembari membaca buku di taman depan gedung jurusannya. Ia melirik kaleng minuman soda yang ada di hadapannya, lalu melirik pemilik tangan yang memegang kaleng itu. “Aduduh ... tanganku pegal sekali. Cepetan ambil.”
Vivian mendengus sebal, ia lalu mengeser tempat duduk dan kotak makannya. Ia kemudian memasang kembali earphone miliknya dan kembali membaca buku. Ia berharap penganggu itu bisa pergi.
“Traumerei-nya Schumann, ya?” Vivian terkejut. Ia tidak menyangka jika penganggu itu menempelkan telinganya pada telinganya hanya untuk mendengarkan apa yang Vivian dengarkan.
Vivian segera menjauh dan melepas earphone-nya. “Apaan, sih?”
“Hai, Vivian. Senang berkenalan denganmu, namaku Asher Konstanza. Kita satu
angkatan dan juga satu kelas.” Si cowok mulai berbicara sendiri. “Oh, hai, Asher. Aku
Vivian, senang bertemu denganmu. Terima kasih atas bantuannya tadi pagi, ya!”
Ekspresi wajahnya mulai menyebalkan saat ia menirukan suara Vivian. “Ya, ampun,
itu bukan apa-apa. Jangan berterima kasih denganku. Tapi traktir aku makan dan
minum bir sore nanti, ya. Iya, Asher, dengan senang hati!” Asher mengakhiri ucapannya, wajahnya yang menyebalkan itu berubah menjadi lebih menyebalkan lagi saat ia melirik sebal ke arah Vivian sembari meminum sodanya.
“Kau sedang kesurupan, ya? Mana ada orang berkenalan seperti itu?” cetus Vivian.
“Ada,”
“Hah?”
“Lima detik yang lalu baru saja aku praktekan."
Vivian memutar bola matanya. Ia bisa merasakan seluruh perempuan yang sedang ada di taman saat ini memperhatikan mereka berdua.
Asher Konstanza teman satu kelasnya itu cukup terkenal di angkatannya. Tidak hanya karena ia baik, murah senyum, dan suka membantu saja, tapi juga karena dia tampan. Oke, untuk seseorang yang seumuran dengannya, Asher itu cukup tampan, ditambah dengan sifat tanpa celanya pula ia jadi lebih terkenal. Bahkan saat pra ospek, Asher sudah mendapatkan pernyataan cinta dari kakak tingkat mereka.
Namun bagi Vivian, Asher tidak lain dan tidak bukan hanyalah seorang pengganggu. Ia terus-terusan menempeli Vivian hanya karena tidak ingin ditempeli dengan perempuan-perempuan lain.
Vivian Grace dikenal sebagai maba yang super pendiam, kuper, dan tentunya aneh. Oh-oh, satu lagi, Vivian itu tidak goodlooking. Jadi, benar-benar berkebalikan 360 derajat dari Asher.
Bukannya bersyukur diikuti Asher terus, tapi Vivian malah terus-terusan mendapatkan kemalangan. Seperti tiba-tiba saja buku-buku yang sengaja Vivian simpan di lokernya disobek oleh oknum-oknum yang tidak dikenal. Terkadang pintu lokernya ditempeli permen karet sehingga tetangga lokernya ikutan terkena batunya.
Pernah suatu hari ia izin untuk tidak mengikuti satu hari ospek karena ada seorang oknum mengunci pintu toilet tempat Vivian sedang membuang hajatnya, mereka kemudian mengguyur Vivian.
Jadi intinya, Vivian itu adalah sosok cewek buruk di mata para fans Asher. Bahkan ada rumor bahwa Vivian menggunakan jampi-jampi dukun agar Asher tunduk kepadanya. Mereka jadi merasa kasihan dengan Asher dan bahkan ada yang bergurau dengan menyemburkan air do'a dari mulut ke wajah Vivian agar susuk yang Vivian gunakan luntur.
Tapi, itu semua bodoh.
Ada yang lebih bodoh dari beberapa kejadian yang pernah terjadi sebelumnya. Seperti
saat ini.
Vivian tidak pernah ambil pusing saat bully-an fisik dan verbal menjelma menjadi santapannya ketika ia pertama masuk ke jurusan ini. Ia juga tidak memedulikan saat ada salah seorang temannya membuat lelucon mengenai dirinya yang sering menjadi jongos di kelompok mereka.
“Untuk bahan stand up comedy nanti saja waktu pensi.” ujar seseorang beberapa saat sebelum ia tampil di panggung. “Kalau leluconnya lucu ‘kan kau jadi terkenal juga.”
Berhasil. Lelucon mengenai gaya Vivian berbicara dan bertingkah laku sukses membuat seluruh teman satu angkatannya tertawa. Bahkan lelucon itu mampu membuat trendmark sendiri untuk Vivian, bahwa Vivian itu memiliki teman perinya
sendiri saat bersama dengan orang lain a.k.a autis.
Ini lagi.
“Jawab!”
Cewek cantik berambut cokelat panjang dengan make up sempurna itu bernama Kathryna Meva. Kebenciannya kepada Vivian sudah tertanam saat Asher memutuskan untuk menempel pada Vivian. Vivian juga tahu jika dalang yang membuat rumor aneh mengenai dirinya itu dimulai dari bibir merah kecokelatan milik Kathryn.
Lalu apa yang membuat primadona jurusan sampai turun tangan sendiri untuk memberikan Vivian pelajaran? Padahal bisa saja ia menyuruh atau menghasut seluruh teman angkatan untuk menghajar Vivian seperti biasanya.
Waktu terasa begitu cepat, yang Vivian ingat hanya dirinya yang terduduk di lantai, ia memegangi pipinya yang memerah. Setelah Kathryn puas melampiaskan amarahnya kepada Vivian, Kathryn mengancamnya dan meninggalkannya. Namun, ada yang aneh, dua antek-anteknya berteriak sembari menatap ke lantai bawah.
Vivian segera berdiri dan melihat apa yang terjadi, dan ia tercengang saat melihat tubuh Kathryn tergeletak tak sadarkan diri.
“KATHRYN!”

Komentar Buku (22)

  • avatar
    HidayatMuhammad

    bgus

    08/05

      0
  • avatar
    M Rifai

    bagus bnget

    05/04

      0
  • avatar
    RahmaEka

    baguss

    06/03

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru