logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Part. 4

"Bu, sebenarnya Fiza masih dalam masa ...." Langsung kuhentikan bicaraku, hampir saja keceplosan. Masa 'iddah, Bu, batinku.
"Masa apa, Fiz?" tanya Ibu sambil memandangku heran, "kok nggak diterusin?"
Ibu mendekat ke arahku. Netranya menatapku lekat. Menyentuh pundakku penuh perhatian hingga membuat aku semakin salah tingkah.
"Enggak, Bu. Fiza cuma mau bilang ... Fiza sudah janjian sama Mbak Sani pagi ini. Untuk ngantar ke rumah sakit. Tapi mana ya? Kok belum datang." Aku melangkah ke teras luar, mencoba mengalihkan pembicaraan. Padahal sebenarnya janjianku dengan Mbak Sani masih dua jam lagi.
Allahu ... hamba tahu sebenarnya masa 'iddah sebaiknya tinggal di rumah. Tapi acara ini sangat penting bagiku. Apalagi dengan status baruku sebagai orang tua tunggal. Semoga Engkau berkenan memaafkanku. Tak terasa tetesan air mataku terjatuh di lantai. Mengundang Ibu untuk mendekatiku.
"Ada apa, Nduk?" Ibu mengangkat daguku hingga mata kami beradu.
"Eh, Ibu. Nggak ada apa-apa kok, Bu." Aku mengusap air mataku dengan kasar, segera melangkah menjauh darinya.
***
Ini adalah minggu pertama aku merawat Alya seorang diri. Biasanya aku bekerjasama dengan Mas Haris. Namun mulai minggu ini dan seterusnya, semua peran itu akan kujalani sendiri. Selain itu, nanti aku juga harus memikirkan nafkah untuk keseharianku. "Laa hawla wala quwwata illa billah," bisikku menyemangati diri.
Sebuah pesan masuk di ponsel putihku. Kubaca pesan yang masuk di aplikasi hijau. Rupanya Mbak Sani sudah menunggu di depan rumah.
[Iya, Mbak San. Tunggu bentar, ya.] Aku menyertakan emot dua tangan yang menangkup untuk permohonan maaf atas sedikit keterlambatanku.
Mbak Sani adalah tetangga jauh yang empat kali dalam sepekan membantu membereskan rumah sejak Hanif lahir. Dan sesekali jika ada acara keluar, aku memintanya untuk mengantarkan.
Aku segera bersiap. Meraih Alya dalam gendongan. Tak lupa tas bekal untuk segala keperluan Alya kuangkut juga.
"Kita kemana, Bu?" tanya Mbak Sani sambil membantu mengangkatkan bawaanku dan menaruhnya di motor bagian depan.
"Ke rumah sakit tempat Alya terapi, Mbak," jawabku sambil merapikan kerudung dan gendongan.
Kurang dari dua pukuh menit sudah sampai tujuan. Rumah Sakit Ibu dan Anak BUNDA. Mbak Sani memilih menunggu di ruang tunggu. Sementara aku segera menuju lokasi acara, aula utama di lantai tiga.
Aku mengayunkan langkah menyusuri lorong menuju lift. Suasana rumah sakit hari ini terlihat lebih ramai. Banyak anak kecil bersama ayah dan ibunya. Hingga membuatku teringat pada Mas Haris yang selalu meluangkan waktu mengantarku untuk terapi Alya. Dan biasanya Hanif pun tak mau ketinggalan juga.
Antrian lift terlihat mengular cukup panjang. Hingga kuputuskan mengambil antrian lift di bagian yang lain. Berharap bisa mendapat suasana yang berbeda dan antrian yang tidak terlalu padat.
Sampai di tempat acara, dua anak kecil menyambutku dengan ceria. "Hai, tante Fiza. Assalamualaikum," sapa si kembar, Shafa dan Shofi hampir bersamaan.
"Hai, sayang Shafa ... Shofi .... Waalaikumussalam," jawabku sambil mencubit manja hidungnya bergantian.
"Mana Mama?"
"Itu!" jawabnya serentak sambil menunjuk ke arah bangku paling belakang.
Mata ini tak sadar mengikuti arah tangan mereka menunjuk. Terlihat seorang wanita usia tiga puluh tahunan melambaikan tangan sambil tersenyum.
Aku berjalan mendekat ke arahnya. Baru saja mau duduk di dekatnya, Alya dalam gendongan menangis minta perhatian.
Kuambil biskuit di tas bekal. Semoga Alya bisa tenang kembali. Namun tangisnya belum berhenti. Akhirnya kugendong sambil mengitari aula tempat dilangsungkannya acara.
Berbagai pemandangan kulihat di sana. Makhluk-makhluk kecil 'istimewa' ciptaan-Nya bertingkah 'luar biasa'. Ada yang berlari-lari berkejaran dengan temannya sambil berteriak sesukanya. Ada yang duduk diam, sibuk dengan makanan dan mainannya. Ada yang berjalan bolak-balik seolah tak punya rasa lelah. Dan ada pula yang duduk manis di atas kursi roda ditemani kedua orang tuanya.
Kududukkan Alya di bangku dekat jendela. Mataku lekat memandanginya. Cantik, mungil, lucu, 'istimewa' dan kini harus terpisah dari ayahnya.
"Entah, akan menjadi yang seperti apa kelak engkau, Nak? Yang jelas, Ibu akan selalu ada untukmu." Mataku berkaca.
Kuedarkan lagi pandanganku ke arah anak-anak 'istimewa' itu. Lalu meraih Alya dalam hangat pelukan dan mencium keningnya dengan lembut.
Hatiku terasa perih. Di kala kedua orang tuanya harusnya kompak dan berpegangan erat untuk saling menguatkan, tapi kini malah tercerai tanpa alasan.
"Olie."
Terdengar seseorang memanggil sebuah nama yang 'tak asing bagiku.
"Olie."
Terdengar seseorang memanggil sebuah nama yang tak asing bagiku. Dahiku mengernyit sambil menoleh ke arah sumber suara.
Perempuan berparas ayu dengan rambut lurus sebahu mengarahkan senyuman kepadaku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa senyum itu memang untukku. Seolah menjawab keraguan yang tampak di wajahku, dia mengangguk sambil menunjuk ke arahku.
"Maaf, siapa ya?" ucapku terheran sambil meraih Alya dalam gendongan.
"Hai, lupa ya?" jawabnya sambil tertawa. "Ini aku, Olie ...."
Tak banyak yang tahu bahwa aku punya nama kesayangan. Nama itu hanya diketahui beberapa orang terdekat saja. Olie, panggilan singkat dari 'Aulia' yang merupakan penggalan dari nama lengkapku, Nurhafiza Aulia Rahma.
Dahi ini berkerut, berpikir keras, mencoba membuka memori yang terlupa. Tapi apa daya, belum juga nama itu muncul dalam ingatan. Siapa dia?
"Hm! Bener-bener sudah dilupakan ya, diriku ini." Kepalanya menggeleng-geleng sambil tertawa lebar.
"Ok. Coba dengar kata kunci ini, semoga bisa membantumu untuk mengingatku. Ujung Genteng, Sukabumi! " Kali ini dia sambil menghentikan tawa lebarnya. Berharap aku mengingat sesuatu dengan apa yang telah disebutnya.
Beberapa detik kemudian, ingatanku melayang pada salah satu kejadian yang tak akan pernah terlupa dalam hidupku. Kejadian lucu, sekaligus memalukan. Bukan untuk aku, tapi bagi dia, perempuan cantik di depanku.
"Oh, iya iya, aku ingat. Nonny Handri Wijaya, kan?" Kali ini aku yang tertawa lebar sambil mengacungkan jari telunjukku ke arahnya. Dia pun menyahut dengan tawa yang disertai anggukan mengiyakan.
"O, jadi sampai sekarang kamu belum nikah?" tanyaku sambil menyuapi Alya susu dan biskuit kesukaannya.
"Ya, begitulah. Kamu sendiri, gimana, sudah berapa tahun menikah?"
Obrolan kami terpotong dengan bunyi telepon genggam Nonny yang berdering. Setelah menggeser tombol hijau, dia melangkah agak menjauh. Lalu terdengar dia bicara dengan seseorang di seberang sana.
"O, gitu ya. Ok deh. Ditunggu ya!" Nonny menyimpan benda pipih berwarna hitam itu kembali ke saku tasnya sambil melihat jam yang menempel di tangan kirinya.
"Sampe mana cerita kita tadi?" tanyanya sambil kembali tertawa.
Bertemu dengan sahabat lama tanpa rencana itu memang mengasikkan. Bercerita panjang lebar dari masalah cinta, karir hingga keluarga. Hingga lupa bahwa kehadiranku ke sini awalnya adalah untuk mengikuti perayaan Hari Anak Nasional yang diadakan Klinik Tumbuh Kembang RSIA BUNDA.
***
Bersambung

Komentar Buku (117)

  • avatar
    NoepRoslin

    Tahniah penulis👍👍

    10/01

      0
  • avatar
    AiraAira

    Aku suka sekali dengan cerita ini🥰

    05/07/2023

      0
  • avatar
    wongWong edan

    saya baca dulu ya

    05/07/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru