logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB 3 MASA LALU

Aji dan Andi masuk ke dalamnya. “Gelap nih!” Kita nyalakan lampu minyak yuk!” usul Aji. “Oke,” jawab Andi setuju.
Jress. Suara korek api dinyalakan kemudian apinya digunakan untuk menyalakan lampu minyak.
“Nah, terang. Sip! Seperti di hutan saja ya,” kata Andi gembira.
“Eh, nanti dulu. Sini gulingnya, buat aku. Aku kan yang punya ide dan kerjanya banyak. Lah kamu? Cuma mengikat satu ujung tali. Jadi nggak usah pakai guling,” kata Aji sambil menarik kasar guling yang sedang dipakai tiduran adiknya.
Dug! Terdengar pelan suara kepala Andi membentur lantai.
“Aduh. Kamu selalu gitu kak, coba kalau nggak aku bantu, kakak nggak akan bisa memasang sendirian. Guling untuk berdua!” tangan Andi menari kembali guling yang dirampas Aji.
“Tidak bisa! Pekerja tidur di lantai. Bos tidur pakai guling,” kata Aji sambal menunjuk dirinya sendiri.
Aji merebut guling, Andi tetap mempertahankannya. Tak pelak lagi, terjadilah pertengkaran dan pergulatan dalam kemah. Hingga satu kaki Andi secara tak sengaja menendang lampu minyak. Lampu minyak tergeletak, minyaknya tumpah dan mengenai bantal-bantal. Sebentar saja apinya membakar bantal-bantal itu.
Kedua kakak beradik itu agak terlambat menyadarinya karena masih sibuk bergulat satu sama lain. Setelah apinya bertambah besar dan merembet membakar selimut yang digunakan untuk kemah, Aji dan Andi baru tersadar.
“Hei, api!” teriak Andi kaget.
“An-di…,” kata Aji tersendat.
Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Cepat sekali api itu menjalar, potongan selimut yang terbakar jatuh ke lantai. Aji tersentak. Ia berdiri dan menarik cepat tangan Andi. Berdua mereka keluar dari kemah-kemahan lewat ujung kemah yang belum terbakar.
“Aduh, An, bagaimana ini?!”
“Air, cepat ambil air!” ajak Aji sambal berlari mencari ember dan menimba air. Andi dan Aji segera menyiramkannya ke selimut yang terbakar. Usahanya tidak berarti banyak. Selimut itu terlalu tinggi untuk dapat teraih air.
“Kebakaran! Kebakaran! Tolong ada kebakaran!” teriak Andi lantang. Suaranya cukup mengagetkan kakek Badun yang sedang memperbaiki sepedanya di halaman belakang.
Kakek Badun segera melompat kemudian bergegas masuk ke samping rumahnya. Brakkk! Kakek Badun mendobrak pintu triplek dan masuk ke dalam rumah. “Astaghfirullah… Aji, Andi!” pekik kakek Badun.
Mamat yang baru saja pulang dari ladang segera berlari menyusul kakek memasuki rumah dan meninggalkan sepeda motor yang baru saja ia turuni. “Ada apa ini Pak?!” Api! Kebarakan!” Teriak Mamat panik.
Kakek Badun segera memutuskan tali-tali rapia yang terikat di tiang kayu dan diikuti oleh Mamat yang melepaskan tali yang terikat juga di jendela dan triplek penyekat rumah. Selimut dan selendang jatuh menutup bantal-bantal di lantai.
Kakek Badun, Mamat, Aji dan Andi bahu membahu memadamkan api dengan menyiramnya. Air sepenuh bak mandi telah mereka siramkan. Kini, apinya telah padam. Tinggallah beberapa bantal yang masih tersesisa, sepasang guling dan secarik selendang bekas bakaran, selimut dan bantal yang tergenang air.
Aji dan Andi menunduk lesu. Mereka merasa amat bersalah. Kakek Badun merangkaul kedua anak itu. Dipeluknya erat mereka berdua. Nampak kepanikan dan ketakutan dari pelukan erat yang kakek berikan.
“Alhamdulillah.. kalian selamat, kalian selamat!” jadikanlah peristiwa ini sebagai pelajaran berharga bagi kalian. Jangan coba-coba permain api. Nabi Muhammad saw. Pun telah menyebutkan bahwa api itu bagaikan musuh bagi kita. Ingat sekali lagi ya Aji, Andi. Jangan bermain api, mereka musuh kita” nasihat kaket Badrun, sambil menyeka buliran air mata yang menyatu dengan keringat dengan kain baju usangnya.
Aji dan Andi mengangguk bersama dan semuanya terdiam.
***
“Siram, ayo siram lagi! Mako cepat! Menyingkir dari sana! Ajak adikmu pergi sekaraang!”
“Tapi Pak? Ibu masih tertidur di dalam, maafkan aku Pak. Hiks hiks hiks”
“Cepat pergi sebelum terlambat, ayoo cepat. Biar bapak yang selamatkan ibumu!”
Kejadian 20 tahun silam kembali terngiang dalam kepala Kakek Badun. Anak sulung Kakek Badun terjebak dalam kobaran api dan tertindih balok besar rumah mereka saat terjadi kebakaran.
Jika saja Mako tidak kembali ke dalam kamar Ibunya untuk membantu si ayah menyelamatkan Ibu, mungkin saja Kakek Badun masih bersama kedua anaknya sekarang dan menikmati masa tua bersama anak-anaknya.
Api muncul dan dengan cepat melahap dapur rumah, hal ini bermula sang adik, si Mamat yang menangis karena ingin sekali minum susu jahe yang biasa ibunya buatkan untuknya. Namun karena Ibu mereka sedang sakit dan sangat sulit untuk berjalan dan memasak, jadilah Mako mengambil inisiatif agar adiknya segera tertidur dan diam.
Awalnya Mako meletakkan beberapa bongkah kayu api ke dalam tungku tanah liat yang memang menjadi tempat memasak keluarga. Mako mengambil sebuah panci kecil yang kemudian menimba air dan mulai memasaknya. Mako juga memasukan 2 bongkah gula merah dan sejumput garam ke dalam panci itu. Mako berusaha membuat api tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil. Sembari memasak air, Mako berlari ke belakang rumahnya untuk menggali dengan cepat jahe merah yang tumbuh subur. Dengan sebuah ‘kedik’- alat tradisional yang biasanya digunakan masyarakat sekitar untuk membersihkan rumput, Mako dengan cepat menggali tanah dan mengambil beberapa bongkah jahe merah.
Sedangkan air di atas tungku terlihat hampir mendidih, namun tanpa Mako sadari ia lupa untuk menjauhkan minyak tanah yang ia gunakan ketika menghidupkan api. Kayu bakar yang kering ditambahkan terdapat rongga didalam kayu tesebut membuat api cepat menjalar dan membakar rongga kayu yang dekat sekali dengan minyak tanah. Api semakin membara saat bersentuhan dengan kaleng minyak membuat api akhirnya menjilati minyak dan semakin menyala hebat.
Saat sedang berjalan menuju guci air untuk membersihkan jahe yang sudah digalinya, Mako tersentak melihat asap dari tungku yang baru beberapa menit tadi ia biarkan menyala.
Tanpa pikir panjang, Mako spontan melepaskan genggaman jahe merah dan kedik ditangannya lalu berlari masuk ke dalam dapur rumahnya.
“Api?! Pekiknya khawatir. Bagaimana ini? Aku harus bagaimana? Mako kebingunan dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Jelas saja umurnya baru menginjak 11 tahun, bisa memasak air saja ia sudah sangat bersyukur. Namun sekarang harus bertindak cepat memadamkan api didepannya yang semakin berkobar dan meliuk-liuk seperti mencari mangsa.
Itulah penyebab Mako akhirnya tiada. Ia terlambat menyadari bahaya yang akan terjadi.
Mako sempat keluar memanggil tetangga sekitar. Namun api yang semula didapur telah merambat masuk ke dalam ruang tamu dan kamar tidur, karena rumah-rumah warga dulunya terbuat dari kayu yang disenangi para api. Ayah Mako, saat ini kakek Badun terlambat tiba ke rumahnya karena sedang bekerja di ladang.
Mako sebenarnya berhasil keluar rumah dan membawa serta adiknya yang masih menangis, namun karena merasa bersalah atas tindakannya yang membakar rumah, Mako kemudian masuk lagi menerobos api untuk membantu membawa Ibunya. Namun naas, baru saja Mako melangkah masuk ke dalam rumah, sebuah balok yang menahan atap rumah jatuh dan menimpa dirinya.
Sedangkan ayah Mako tidak dapat mencapai tempat tidur istrinya yang terbaring lemas tak berdaya, hanya tangisan dan jeritan memanggil istrinya yang sudah tenggelam dalam kobaran api.

Komentar Buku (186)

  • avatar
    AbilinaslpKatrina

    nice

    20/08

      0
  • avatar
    ZahroFatimatul

    iyo

    20/08

      0
  • avatar
    SAFITRINABILAH

    🙃🙃

    19/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru