logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB 2 BERMAIN

Sementara itu Aji dan Andi menuju rumah Dea. Dea merupakan anak bungsu dari Pak Anto, seorang juragan kaya yang dermawan. Pak Anto secara sukarela membantu warga yang kesusahan, dan sepertinya sifat baiknya ini menurun kepada anak-anaknya. Dea meskipun anak dari keluarga yang berkecukupan, dia tidak pernah menyombongkan dirinya, berteman dengan siapa saja dan biasa bermain mainan tradisional bersama teman-temannya juga, tidak terlena akan gadget yang kini merajai seluruh dunia.
Rumah Dea bertingkat dua, berada dekat lapangan voli kampung ini, rumahnya memiliki halaman belakang yang luas, sering digunakan olehnya bermain bersama teman-temannya. Ketika bermain, ibu Dea sering menyuguhkan snack kecil dan minuman yang menyegarkan membuat teman-teman Dea selalu senang bermain bersamanya. Oleh karena itu Aji dan Andi kerap kali datang diwaktu luang mereka untuk bermain bersama.
Belum sampai di rumah Dea, Aji dan Andi bertemu Dea di kebun.
“Dea, itu Dea kan? Sedang apa kamu? Kelihatannya sibuk sekali?” Tanya Andi kepada Dea.
“Eh, Ji, An, sini!” Dea tidak menjawab pertanyaan Andi. Dea malah mengajak dua kakak beradik itu untuk mendekat padanya.
“Aku punya Meriam bagus. Baru saja aku selesai membuatnya. Ini bambu, bahan-bahan dimasukkan di sini. Minyak tanah sedikit saja, terus dinyalakan. “Mau coba?” Jelas Dea dengan penuh semangat.
Meriam bambu yang diperkenalkan Dea biasa disebut ‘bedil’ di kampung ini. Meriam bambu masih popular dimainkan oleh anak-anak kampung terutama pada bulan Ramadhan. Bambu yang digunakan adalah bambu yang besar dan tebal (umumnya jenis bambu betung) yang memiliki diameter minimal 10 cm. Sebaiknya ketika akan membuatnya pilihlah bambu yang segar (belum lama ditebang) yang cukup tua karena bambu muda cenderung mudah menciut dan berubah bentuk sehingga mudah pecah. Biasanya Meriam ini berukuran 150 cm yang mana sekat-sekat ruas yang terdapat pada bambu harus dijebol terlebih dahulu. Lalu bagian bambu yang akan dijadikan meriam tidak memiliki cacat seperti berlubang atau pecah. Lalu buat lubang pemicu yang nantinya sebagai tempat minyak dan api. Pada ujung keluar bunyi biasanya dibiarkan berlubang.
Aji dan Andi tertarik, mereka berjongkok di dekat Dea. “Tunggu dulu, apakah ini aman?” Tanya Aji tiba-tiba saat melihat benda yang baru saja Dea tawarkan kepada mereka.
Mengabaikan pertanyaan dan tatapan penuh tanda tanya kakak beradik itu, Dea segera memasukkan bahan-bahan yang dimaksud.
“Nyalakan!” Dea memberi aba-aba pada Aji. Aji yang disuruh lantas dengan ragu menyalakan korek api. Pentol korek segera menyala.
“Masukkan ke lubang bambu”, kata Dea lagi. Tangan Aji bergerak di depan akan memasukkan pentol korek yang menyala ke dalam lubang bambu dengan sedikit ketakutan.
Wush! Blung! Terdengar letupan Meriam bambu buatan Dea.
“Akhh!” Aji terperanjat. Ia kaget bukan main hingga terpental ke tanah.
“Aduh, tanganku,” rintih Aji. Rupanya tangan Aji tersulut Api. Ibu jarinya memerah dan sedikit melepuh.
Dea yang menyaksikan temannya tersulut api menjadi takut bercampur gelisah. Ia tak menyangka mainan Meriam bambunya akan membuat temannya cidera dan ketakutan.
“Kak, pulang aja yuk!” ajak Andi pada kakaknya. Aji dan Andi berdiri dan segera pulang meninggalkan Dea sendirian yang mengemasi Meriam bambunya.
“Loh kalian mau kemana? Apa tanganmu tidak apa-apa? Sini biar aku bantu, Aji! Andi! Jangan pergi duluu!” Teriak Dea yang sudah ditinggalkan begitu saja oleh keduanya.
“Lain kali saja Kak De! Kami mau segera pulang, sampai jumpa!” Balas Andi setengah berteriak dengan terus berjalan mengiringi langkah buru-buru kakaknya.
“Sss… huh… huh..,” Aji meniup-niup ibu jaringanya yang sakit. Hanya sedikit memang, tapi membuat Aji tidak nyaman.
“Jangan kamu adukan kepada ibu dan bapak nanti!” ucap Aji sambil tetap meniup ibu jarinya.
“Baik kak”. Ucap Andi tanpa membantah perintah Aji. Sebenarnya Andi juga khawatir ikut dimarahi apabila ibu dan bapaknya tahu kalau keduanya bermain sesuatu yang berbahaya.
Rumah Dea cukup dekat dari kontrakan meraka, namun untuk sampai kesana mereka harus melewati kebun warga dikanan kirinya. Andi dan Aji menyusuri jalan kebun dengan hati-hati. Jalan setapak kebun yang kecil membuat adik kakak ini berjalan beriringan. Terlihat tanaman cabai di kanan kiri yang sudah berbuah dan tidak lama lagi siap untuk dipetik dan dipasarkan.
***
Peristiwa sore itu seharusnya sudah dapat menjadi pelajaran berharga. Tetapi ternyata tidak bagi Aji dan Andi. Kali ini mereka berdua bermain api lagi di dalam rumahnya. Awalnya mereka hanya bermain bongkar pasang balok-balok yang disusun menyerupai bentuk rumah, binatang dinosaurus, dan jembatan. Mereka bermain sambil menunggu bapak dan ibunya pulang.
Pak Amin yang jadi pekerja di bengkel elektronik memang biasa pulang sore hari, sekitar pukul lima. Sedangkan Bu Sri seharusnya juga sudah di rumah sejak tengah hari karena hasil penjualan kuenya sudah ia jemput pukul 11 tadi, namun Bu Sri sejak selesai dzuhur sudah pergi ke rumah tetangganya yang sedang mempersiapkan masakan untuk acara hajatan esok.
Bosan bermain bongkar pasang, Aji mulai berpikir untuk mengajak adiknya membuat kemah-kemahan.
“An, yuk bermain kemah-kemahan.” Celoteh Aji tiba-tiba.
“Emm ayuk kak, tapi dari apa kita membuatnya? Kan kita tidak punya peralatan kemah?” Tanya Andi kepada kakaknya.
“Pakai selendang dan selimut ini,” kata Aji sambil mengulurkan selendang dan selimut tidurnya pada Andi.
“Ide bagus kak, kalau begitu aku ambil talinya,” kata Andi. Aji dan Andi segera menyiapkan peralatan yang mereka butuhkan, ada 2 lembar selimut, dan beberapa lembar selendang ibunya, tali rapia yang mereka temukan di rak dapur mereka.
Andi mulai mengikat ujung-ujung selendang dengan tali rapia. “Pegang ujung sini, simpulkan selimut bagian ujungnya dulu, lalu ikat dengan talinya. Aku akan mengikat ujung sana di tiang kayu,” Aji segera menaiki kursi didekatnya. Sebentar saja ia sudah berhasil mengikatkan tali pada tiang rumah dari kayu.
Andi mengikuti cara kakaknya menyimpul selimut dan mengikatkan tali pada ujung tiang rumah yang lain. Tak berapa lama jadilah kemah-kemahan yang mereka maksud. Bantal-bantal ditumpuk pada kedua ujung kemah yang terbuka. Sedangkan satu guling mereka susun sebagai batas kekuasan masing-masing didalam tenda ciptaan mereka.
“Wah asyik ya kak, seperti kemahan sungguhan. Bedanya kita di rumah bukan di tengah hutan.” Ujar Andi cengar cengir merasa puas dengan hasil kerjasama mereka.

Komentar Buku (186)

  • avatar
    AbilinaslpKatrina

    nice

    20/08

      0
  • avatar
    ZahroFatimatul

    iyo

    20/08

      0
  • avatar
    SAFITRINABILAH

    🙃🙃

    19/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru