logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5 Ajakan Sesat

“Baru pulang, Kak?”
Kepulangan Raka disambut suara Arvin. Dia menatap datar adiknya yang kedapatan sedang asyik menikmati satu stoples kue di ruang santai. Mata Raka dengan cepat menangkap beberapa stoples kosong sudah berjejer di atas meja. Adiknya itu memang pantas menyandang gelar foodmonster.
“Coba cerita, Kak. Gimana rasanya kerja sebagai pengawal? Enak nggak?” tanya Arvin penasaran. Nada bicaranya sedikit belepotan karena mulutnya penuh dengan kue.
“Kamu penasaran?” Raka tersenyum tipis. “Coba aja sendiri. Aku nggak keberatan kok kalau kamu gantiin posisiku jadi pengawal anak temennya Papa.”
Arvin menimbang-nimbang tawaran Raka lalu menggeleng pelan. “Nggak mau. Aku sibuk.” Dia kembali memasukkan kue ke mulutnya.
“Sibuk makan!” cibir Raka. Dia sudah bersiap menaiki tangga sebelum seruan khas dari arah dapur menghentikan langkah kakinya.
“Eh? Raka, kamu udah pulang?”
Raka mengangguki sapaan ibunya, Irma. Ekspresinya berubah kusut melihat kemunculan Yudha dari belakang Irma. Mengingat kembali pengalamannya di hari pertama sebagai pengawal Mia, tanpa ragu Raka langsung mengajukan protes. “Pa, aku berhenti jadi pengawal Mia, ya?”
Yudha dan Irma saling memandang dengan ekspresi kebingungan.
“Baru satu hari, tapi dia udah bikin kepalaku pusing. Rasanya mau pecah denger ocehan konyolnya, Pa,” lanjut Raka. Dia semakin kesal karena Yudha dan Irma justru tertawa terbahak-bahak.
“Papa sama Mama kenapa, Kak?” tanya Arvin bingung.
“Nggak tahu.” Raka mendengus kesal. “Papa cari orang lain aja untuk jadi pengawal Mia. Coba suruh Alvin aja. Tadi dia nanyain gimana rasanya kerja jadi pengawal.”
“Enggak!” Arvin menolak mentah-mentah. “Aku sibuk!”
“Emang kamu pikir aku nggak sibuk?!” balas Raka tak kalah sengit.
“Udah, udah. Kalian nggak usah debat.” Yudha melerai pertengkaran kedua putranya. Dia memperhatikan Raka dengan raut serius. “Sesuai kesepakatan, kamu jadi pengawalnya Mia sampai kamu resmi gabung di perusahaan Papa.”
“Ya udah besok aku mulai kerja di perusahaan Papa aja,” sahut Raka tetap pada keinginan untuk mengundurkan diri sebagai pengawal Mia.
“Mana bisa gitu, Raka? Papa udah janji sama Om Haris kalau kamu mau jadi pengawalnya Mia. Lagian cuma sebentar kok. Nggak sampai satu bulan,” kata Yudha lantas tersenyum menyeringai. “Atau, kamu mau Papa jodohin sama perempuan yang sudah kami pilih jadi calon istrimu?”
“Kalau itu jelas Mama seneng banget. Mama bisa siapin pernikahanmu sama perempuan pilihan kami. Lebih cepat lebih baik,” seloroh Irma dan membuat ekspresi Raka berubah horor.
“Bener-bener kalian ini ....” Raka kehabisan kata-kata membalas ucapan orang tuanya.
Yudha dan Irma kembali tertawa. Arvin yang baru saja menghabiskan stoples ke-4 menatap keduanya bingung. “Aku nggak ngerti. Kenapa Papa sama Mama nyuruh Kak Raka jadi pengawal anak temennya Papa itu?”
“Papa sama Mama pengen ngubah kepribadian kakakmu ini sebelum jadi manusia es,” jawab Irma. Ketika Yudha mengusulkan ide itu, dia tanpa ragu langsung menyetujuinya. Irma sendiri sudah tidak tahan melihat putra sulungnya yang kerap bersikap dingin dan cuek saat berinteraksi dengan orang lain.
“Ngubah kepribadian Kak Raka?” Arvin menaikkan sebelah alisnya. “Aku jadi penasaran. Gadis yang namanya Mia itu kayak gimana?”
“Kalau kamu penasaran, cari tahu sendiri, Dek,” balas Yudha.
“Papa! Aku udah gedhe! Jangan panggil aku ‘Dek’!” tukas Arvin.
“Bilang sana, sama anak yang baru aja ngabisin empat stoples kue kering buatan Mama.”
Mendengar balasan Irma, Arvin meringis lebar. Dalam hitungan detik, dia kabur ke kamarnya sambil membawa stoples terakhir.
“ARVIN!”
Irma berkacak pinggang melihat putra bungsunya sudah menghilang di lantai dua. Wanita paruh baya itu melirik tajam pada suaminya.
“Lihat kelakuan anakmu itu, Pa! Lama-lama kita bisa bangkrut cuma buat kebutuhan perutnya aja,” kata Irma seraya melangkah kembali ke dapur. Meninggalkan Yudha yang kembali tertawa terbahak-bahak di ruang santai.
***
“Mia, gimana tadi selama di kampus? Raka kerjanya bagus nggak?”
Makan malam memang menjadi momen yang tepat bagi Haris dan Diana untuk bertukar cerita dengan putri semata wayang mereka. Kesibukan mereka dalam bisnis masing-masing, terkadang membuat keduanya sulit untuk menghabiskan waktu bersama Mia.
Tidak heran jika mereka begitu menjaga Mia dari pengaruh buruk di luar sana. Haris yang paling overprotective untuk mengawasi pergaulan putri cantiknya itu.
“Iya, Pa. Mas Raka kerjanya bagus kok. Kayak Mama bilang, ke manapun aku pergi, Mas Raka selalu nemenin.” Mia meneguk minumannya sampai habis lalu mengerucutkan bibirnya. “Tapi, aku sebel sama Mas Raka.”
Diana menaikkan sebelah alisnya. “Sebel kenapa? Apa Raka ngelakuin kesalahan?”
“Aku tadi pengen ke toilet, tapi Mas Raka nggak mau nemenin.”
Uhuk! Haris tersedak minumannya sampai terbatuk. Diana buru-buru mengambil tisu untuk sang suami, sebelum menatap gemas putrinya yang memandangi mereka dengan tatapan bingung.
“Ya ampun, Mia. Jelas aja Raka nggak mau.” Diana tersenyum geli. “Emangnya kamu nggak malu kalau ‘aset’ kamu dilihat sama Raka?”
Plak! Haris menepuk keningnya. “Mama ngomong gitu malah bikin Mia tambah bingung.”
Diana tertawa kecil, sementara Haris hanya menggelengkan kepala. Kini dia harus menghadapi sorot mata bertanya milik Mia.
“Aset? Aku nggak paham maksud Mama. Emangnya aku punya aset ya, Pa?” tanya Mia sambil mengerjapkan matanya.
Haris tersenyum kecut. Semakin ke sini dia semakin pusing menghadapi kepolosan Mia.
“Hati-hati, Pa. Kamu milih Raka jadi pengawal Mia. Semoga aja dia nggak nurunin sifatnya Yudha yang ... ehem ... mesum.” Diana terkikik sambil menutup mulutnya. “Nanti kita cepet dapet cucu, Pa.”
Mata Haris seketika berubah horor. ‘Ya ampun, kenapa aku baru inget?!’
Sebelum Haris berteriak, suara lain dari arah pintu utama justru terdengar lebih dulu.
“MIAAAAAA!”
Haris dan Diana nyaris tersedak karena suara keras Fani. Mia langsung melompat dari kursi dan berlari menghampiri sahabatnya.
“Fani! Kamu mau bikin telinga Om sama Tante sakit, ya?!” protes Diana sembari mengusap telinganya.
Fani tersenyum lebar. “Maaf, Tante. Tadi aku terlalu semangat karena mau dateng ke sini,” ucapnya sambil memasang wajah tanpa dosa.
“Lain kali mau masuk pakai salam dulu.” Haris menarik napas panjang. “Ngapain kamu dateng pas jam makan malam? Mau ngerjain tugas kuliah sama Mia?”
Haris memperhatikan penampilan Fani. Dalam sekejap, bola matanya melotot. “Tunggu, jangan bilang kalau kamu—”
“Iya, Om.” Fani mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku mau ngajak Mia pergi ke kelab malam.”
TO BE CONTINUED

Komentar Buku (506)

  • avatar
    Fani Rifa

    susah ditebak alur ceritanya jd menarik

    3d

      0
  • avatar
    1Dika

    asu

    16d

      0
  • avatar
    HsheuuwHgwkwgie

    Mak jek balam 39

    21d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru